Arsitektur Etika Publik di Era Digital

0

Oleh: Temu Sutrisno
(Sekretaris PWI Sulawesi Tengah/Pemerhati Etika Digital)

 

Selasa (11/11/2025), seorang kawan, mantan aktivis HMI, menghubungi saya. Ia menyampaikan rencana undangan dari adik-adik mahasiswa UIN Palu, untuk menjadi pemantik dalam agenda FORKOMNAS KPI Wilayah 5 bertema “Arsitektur Etika Publik: Menggagas Regulasi Penyiaran dan Komunikasi Digital yang Berpihak pada Toleransi dan Kewarasan.”

Tema yang membuat saya langsung berhenti sejenak. Topik etika digital sejak beberapa tahun terakhir benar-benar menyita perhatian saya.

Sayangnya, jadwal mengharuskan saya berada di luar daerah pada hari pelaksanaan. Saya menawarkan untuk hadir via Zoom, tetapi hingga hari H tidak ada kabar lanjutan. Meski tidak bertemu langsung, saya tetap merasa perlu menitipkan beberapa catatan yang menurut saya sebagai arsitektur etika publik, sebuah kerangka nilai yang makin mendesak untuk dipikirkan di tengah dunia digital yang tumbuh cepat namun kerap kehilangan orientasi.

*Ledakan Ruang Publik Digital*

Dalam sepuluh tahun terakhir, ruang publik kita berubah total. Media sosial menjadi arena baru untuk berbagi pengetahuan, memperluas jejaring, saling menginspirasi, tetapi juga tempat lahirnya fitnah, kabar palsu, kemarahan liar, dan polarisasi politik.

Lebih dari separuh generasi muda Indonesia kini menjadikan platform digital sebagai pintu pertama mereka mengakses informasi. Secara teori ini kabar baik: akses makin demokratis. Tetapi realitasnya tidak sesederhana itu. Informasi mengalir begitu deras, lebih cepat daripada kemampuan publik memeriksa kebenaran maupun niat di baliknya.

Paradoksnya jelas: ruang publik makin luas, namun percakapan sering kali minus kualitas.

*Etika Digital yang Semakin Rumit*

Hari ini, etika digital bukan lagi soal etika personal, melainkan ekosistem yang kompleks.

Pertama, disinformasi telah menjadi industri. Hoaks bukan lagi kerjaan iseng, melainkan mesin yang bekerja sistematis melalui buzzer, bot, dan algoritma yang memelihara kemarahan.

Kedua, publik semakin terperangkap dalam echo chamber. Algoritma memanjakan preferensi kita, membuat kita hidup dalam ruang gema yang memperkuat fanatisme, sekaligus mengikis empati.

Ketiga, kekerasan digital seperti doxing, perundungan, dan ujaran kebencian menjadi fenomena harian. Ruang digital yang mestinya menjadi arena komunikasi justru berubah menjadi arena pertarungan.

Keempat, terjadi krisis kewarasan algoritmik. Platform mengejar engagement, bukan kebenaran. Konten ekstrem dinormalisasi karena dianggap “menguntungkan”.

Kita hidup dalam arsitektur informasi yang dibangun bukan untuk melindungi martabat manusia, tetapi untuk memanen perhatian.

Saatnya kita memikirkan ulang arsitektur etika publik: kerangka nilai, regulasi, dan perilaku yang mampu memulihkan kualitas ruang digital kita.

Etika publik tidak bermaksud membatasi kreativitas, tetapi memastikan bahwa kebebasan berekspresi tetap berjalan seiring tanggung jawab moral. Etika harus berakar pada nilai yang telah lama menjadi fondasi peradaban kita: budaya, agama, dan kemanusiaan.

*Budaya, Agama, dan Kemanusiaan sebagai Fondasi*

Budaya Nusantara telah lama mengajarkan kesantunan, gotong royong, dan cara bertutur yang memperhatikan tempat serta waktunya. Di ruang digital, nilai budaya ini dapat menjadi rem sosial yang menahan ujaran kebencian, sekaligus penghalus komunikasi publik.

Agama mengajarkan kejujuran, kasih sayang, pengendalian diri, serta penghormatan kepada sesama manusia. Di tengah banjir informasi yang membingungkan, nilai religiusitas dapat menjadi kompas nurani yang menjaga agar interaksi digital tidak kehilangan rasa hormat dan tidak tenggelam dalam penghakiman instan.

Kemanusiaan menempatkan martabat manusia di pusat etika digital. Tanpa nilai kemanusiaan, teknologi hanya akan melahirkan ruang digital yang brutal, memarjinalkan kelompok rentan, dan mematikan dialog. Era digital harus diwarnai nilai cinta, simpati, empati, dan sikap saling menghormati. Tidak ada teknologi secanggih apapun di atas kemanusiaan.

Ketiga nilai ini adalah “tiang pancang” bagi etika publik. Tanpa budaya, agama, dan kemanusiaan, regulasi hanyalah teks kering yang tidak punya akar.

*Menjaga Toleransi dan Kewarasan Digital*

Toleransi digital berarti kesiapan menghadapi perbedaan dengan kepala dingin. Perbedaan adalah fakta, tetapi ketidakmampuan mengelolanya adalah pilihan.

Kewarasan digital, pada saat yang sama, adalah kemampuan untuk tetap jernih meski dikelilingi banjir informasi: tidak mudah panik, tidak mudah tersulut, dan berani menolak manipulasi algoritmik.

Keduanya mustahil terwujud tanpa fondasi nilai budaya, agama, dan kemanusiaan yang bekerja dalam praktik sehari-hari.

*Kita Penentunya*

Arsitektur etika publik bukan semata soal aturan pemerintah atau regulasi penyiaran multiplatform. Etika publik adalah persoalan karakter bangsa: bagaimana budaya menghaluskan tutur, agama menerangi batin, dan kemanusiaan memuliakan sesama.

Wajah baik buruk era digital tergantung pada nilai yang dibawa pengguna ke dalamnya. Teknologi dan platform hanyalah alat. Manusia yang menentukan apakah ia menjadi ruang dialog yang sehat atau arena konflik yang tidak berkesudahan.

Kini saatnya kita merawat ruang publik digital dengan kesadaran etis yang lebih kuat, agar toleransi terjaga, kewarasan hidup, dan martabat manusia tetap di depan.***

Luwuk, 14 November 2025

Comments
Loading...
error: Content is protected !!