Rahmatan lil ‘Âlamîn

0

Seorang novelis terkemuka Amerika yang bernama Elizabeth Gilbert pernah diwawancarai oleh Oprah Winfrey tentang bukunya, Eat, Pray, Love yang telah diangkat ke layar lebar. Ia mengejutkan Oprah karena mengaku menemukan sosok sejati Islam saat berkunjung ke Lombok, Indonesia.

Islam bukan dipahaminya dari buku yang tebalnya ribuan halaman, bukan dari tulisan dengan ratusan bahan pustaka, bukan dari ceramah-ceramah heroik para dai di atas mimbar. Tapi Islam sampai kepadanya dari kontak singkat dengan seorang muslimah, yang meninggalkan bekas mendalam dalam jiwa.

Elizabeth memutuskan pergi ke Lombok karena depresi dan ingin menenangkan diri setelah bercerai dengan suaminya. Setiap hari ia menghabiskan waktu dengan berjalan di pantai. Secara tak sengaja ia sering ketemu dengan seorang wanita nelayan yang tersenyum dan sering memberikan salam hormat. Wanita itu ternyata sering memperhatikannya.

Suatu saat Elizabeth salah makan dan keracunan. Ia mengalami diare parah sehingga tidak bisa keluar dari kamarnya. Tak satupun orang yang ia kenal di sekitarnya yang bisa membantu. Saat kondisinya semakin memburuk, tiba-tiba wanita nelayan itu datang ke kamarnya. Setelah melihat kondisinya, wanita itu memintanya tenang dan segera pulang ke rumah untuk mengambilkan makanan.

Rupanya wanita itu kehilangan Elizabeth yang tidak lagi terlihat di pantai. Ia kemudian mencarinya dan mendapatkannya sakit di kamar. Wanita itu kemudian merawat Elizabeth seperti merawat seorang bayi sampai sembuh. “Terlepas dari penilaian orang lain tentang Islam, tapi wanita itu adalah gambaran Islam bagi saya” tegas Elizabeth kepada Oprah.

Secara tak sengaja, kasih yang tulus dan bantuan tanpa pamrih mampu dengan lugas dan tegas merefleksikan Islam kepada seorang penulis besar Amerika. Sampai ia tidak peduli stigma negatif Barat yang diidentikkan dengan Islam. Baginya Islam itu adalah kasih sayang yang tak bertepi. Tanpa membedakan agama, suku, ras dan golongan. Islam adalah rahmat bagi seluruh alam semesta. Islam hanya memberi, tak harap kembali. Bagai sang surya, yang menerangi dunia. Karena nama wanita yang menolongnya, tidak pernah diketahui Elizabeth. Wanita itu juga tidak menyebutkan namanya. Niatnya hanya tulus membantu, tanpa ingin mencitrakan diri.

Islam sangat identik dengan rahmat atau kasih sayang. Rahmat menjadi bagian yang fundamental dan inti ajaran tauhid. Imam Ibnu Atsir mengatakan bahwa di antara nama-nama Allah Swt., ada Rahmân dan Rahîm. Dua nama ini diambil dari kata rahmat atau kasih sayang. Nama Rahmân lebih tinggi kedudukannya dibanding nama Rahîm. Karena Rahmân berarti rahmat yang hanya khusus melekat dalam Dzat Allah Swt. Sementara Rahîm bisa dikaitkan dengan makhluk. Misalnya Abdullah yang rahîm atau yang memiliki sifat penyayang. Sementara kita tidak bisa mengatakan Abdullah yang Rahmân. Karena Rahmân adalah rahmat yang hanya khusus dimiliki Allah Swt..

Selain memiliki sifat rahmat yang tercermin dalam nama, Allah Swt. juga mewajibkan sifat rahmat melekat dalam Dzat-Nya. Dalam surat Al-An’am ayat 54 Allah Swt berfirman, “Dan apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami datang kepadamu, maka katakanlah salam sejahtera untuk kamu, Tuhanmu telah menetapkan sifat kasih sayang pada diri-Nya, (yaitu) barang-siapa berbuat kejahatan di antara kamu karena kebodohan, kemudian dia bertobat setelah itu dan memperbaiki diri, maka Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Penegasan rahmat Allah Swt. ini pernah diungkap oleh Rasulullah Saw.. Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa satu saat beberapa tawanan dihadapkan kepada Rasulullah Saw.. Diantara mereka ada seorang perempuan yang biasa menyusui balita. Bila ia melihat ada balita yang tertawan, ia segera mengambil dan menyusuinya. Rasul Saw. lantas bersabda kepada para sahabat ketika melihat wanita tersebut, “Menurut kalian, apakah wanita itu tega melemparkan bayinya ke dalam api?” Para sahabat mengatakan bahwa selama wanita itu bisa menghindarkan bayinya dari api maka ia tidak akan tega melemparkan bayinya ke dalam api. “Sungguh kasih sayang Allah Swt. kepada hamba-Nya melebihi kasih sayang wanita itu kepada anaknya,” tegas Rasulullah Saw. di akhir sabdanya.

Setelah mematrikan DzatNya memiliki sifat rahmat, Allah lantas menciptakan rahmat yang menyangga alam semesta, mengokohkan langit dan bumi. Tersebar kepada seluruh makhluk. Dalam sebuah hadis Riwayat Muslim dari sahabat Abu Hurairah ra., Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki seratus rahmat. Kemudian Allah menurunkan satu rahmat yang dibagi kepada semua jin, manusia, binatang dan tumbuhan. Dengan rahmat tersebut mereka saling mencintai dan menyayangi. Dengan rahmat itu pula seekor binatang buas bisa menyayangi anaknya. Lalu Allah menahan sembilan puluh sembilan sisa rahmatNya, yang akan dibagikan kepada hamba-hambaNya pada hari kiamat”.

Rahmat juga menjadi sifat utama yang harus dimiliki oleh para Nabi dan Rasul. Sebagai wakil yang diutus Allah ke atas muka bumi, maka rahmat merupakan akhlak utama yang harus dimiliki dan tercermin dalam seluruh aktivitas hidup mereka. Allah Swt. berfirman dalam surat Ali Imran ayat 159, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Dalam Riwayat Bukhari dan Muslim, Aisyah ra., mencoba menggambarkan rahmat yang dimiliki oleh Rasulullah Saw.. Aisyah ra.  pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., “Adakah penderitaan yang lebih berat yang engkau alami dari perang Uhud?” Beliau Saw. menjawab, “Ya, aku pernah merasakan peristiwa yang lebih berat dari kaummu. Peristiwa itu pada hari ‘Aqabah. Ketika itu, aku menemui Ibnu Abdi Yalil bin Abdi Kulal, tetapi ia tidak mengabulkan apa yang aku kehendaki. Karena itu, aku pergi dalam keadaan sangat sedih. Aku baru tersadar setelah berada di Qarn Atsa’alib. Aku menengadahkan wajahku dan ternyata ada Jibril as. Di sana. Lalu ia berkata kepadaku, Sesungguhnya, Allah swt. Telah mendengar jawaban dan bantahan kaummu. Maka Allah mengutus malaikat penjaga gunung kepadamu agar kamu menyuruhnya sesukamu untuk membinasakan mereka. Kemudian malaikat penjaga gunung berkata kepadaku, Wahai Muhammad, sesungguhnya, Allah swt. telah mendengar jawaban serta bantahan kaummu kepadamu. Aku adalah malaikat penjaga gunung. Aku diutus oleh Tuhanku untuk menemuimu agar kamu memberi perintah sekehendakmu kepadaku. Jika engkau menghendaki, aku timpakan dua gunung besar di atas mereka. Nabi saw. menjawab, “Aku hanya ingin agar Allah memunculkan dari tulang-tulang rusuk mereka orang yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu”.

Ketika kesempatan untuk membinasakan umat durhaka sudah diberikan kewenangannya kepada Rasulullah Saw.. Ketika satu penduduk Thaif tidak sadar bahwa keberlangsungan hidup mereka akan sama seperti kaum Tsamud, ‘Ad, Soddom dan Gomorah. Justru sejarah penduduk Thaif berubah dengan rahmat yang ditunjukkan oleh Muhammad Saw.. Untuk mematrikan bahwa beliau memang nyata diutus untuk memberikan rahmat bagi semesta alam. Bahkan di situasi yang paling sulit, paling menyakitkan dan paling menderita sekalipun.

Allah Swt. juga menurunkan risalah yang dibawa oleh para nabi sejak zaman Nabi Adam as. sampai nabi Muhammad Saw.. sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rahmat-Nya. Ketika alam semesta telah dipayungi dengan rahmat, maka sudah sewajarnya manusia sebagai khalifah Allah Swt., yang akan mengelola dan memakmurkan bumi, juga diberikan ajaran rahmat.

Allah Swt berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 178 sd 179, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapatkan maaf dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar denda kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhanmu dan rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”

Refleksi rahmat yang tergambar dengan utuh dalam sosok Rasulullah Saw. dan rahmat yang menyebar dalam ajaran Islam, berhasil diserap utuh oleh para sahabat. Mereka juga mampu menjadi duta rahmat Islam itu sendiri. Adalah seorang Umar bin Khattab ra. yang terkenal sangat bengis dan menakutkan sebelum menjadi seorang muslim. Kalau bukan karena hidayah Allah Swt dengan Islam, mungkin ia tidak akan mengetahui makna rahmat seumur hidupnya. Tidak akan bisa berbagi dan merasakan penderitaan orang-orang di sekelilingnya.

Suatu saat ia pernah bertanya kepada pembantunya yang bernama Aslam, “Apakah kamu bisa tidur malam?” “Iya” jawab Aslam. Umar ra. lantas curhat, “Demi Allah aku tidak bisa tidur selama tiga hari ini. Karena Allah Swt telah memberikan beban kepadaku untuk menghidupi para janda, orang miskin, lansia, dan anak-anak yatim.”

Bagi Umar ra., rahmatan lil alamin itu tatkala Allah Swt. menjadikan rahmat atau kasih sayang menjadi satu hal prinsip di alam semesta. Prinsip bagi Allah sebagai pencipta, sehingga menurunkan risalah dan mengutus para nabi untuk merealisasikan rahmat. Dan prinsip bagi manusia sebagai yang dicipta seperti Umar ra., untuk menyebarkan rahmat itu kepada sesamanya. Bahkan kepada hewan, tumbuhan dan lingkungan di sekitarnya. Rahmat juga sebuah beban dan amanah bagi manusia yang akan dipertanggungjawabkan di hari kiamat.

Namun masih ada saja di antara manusia yang abai dan lupa. Ada saja yang memaksa makan sampai kenyang, sementara saudaranya di sekitarnya kelaparan dan membutuhkan makanan. Di antara makhluk ada yang bisa memakai baju yang indah dan mahal harganya, sementara temannya memakai baju apa adanya, hanya sekedar menutupi aurat. Di antara hamba Allah Swt. ada yang mampu membangun istana megah dan tinggal di dalamnya dengan aman dan nyaman. Sementara ada yang lain masih berusaha mencari tempat berteduh, walaupun terkadang tetap terpapar matahari dan basah oleh hujan, karena atap yang lobang.

Kata Rahmân dan Rahîm mungkin sangat fasih terujar dari lisan kita saat mengucapkan Al-Fatihah dalam setiap salat. Lugas dan sangat ilmiah kala menafsirkannya. Namun refleksi dua kata itu dalam kehidupan nyata perlu kita fasihkan kembali.

 

 

Comments
Loading...
error: Content is protected !!