Bani Israil di zaman Nabi Musa a.s. pernah menghadapi masalah pelik. Mereka dihadapkan dua pilihan yang saling bertolak belakang. Allah Swt. memerintahkan mereka untuk beribadah secara masal di tempat-tempat peribadatan. Ibadah ini sifatnya wajib. Tidak bisa ditinggalkan. Sementara kalau melaksanakan ibadah tersebut taruhannya nyawa. Karena Firaun melarang pelaksanaan ibadah secara umum di Mesir. Bagi yang melanggar hukumannya bisa dibunuh.
Paradoks memang. Bila mereka tidak ibadah, maka akan menggugurkan hak Allah Swt. sebagai ilâh dan rabb yang harus disembah. Sementara bila melaksanakannya, maka hak untuk menjaga kehidupan akan terancam. Ada hak Allah Swt. yang bertentangan dengan kepentingan manusia.
Allah Swt. mengabadikan masalah ini dalam surat Yunus ayat 87, “Dan kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya (Harun) agar mengambil beberapa rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu. Kemudian hendaklah mereka menjadikan rumah-rumah tersebut sebagai tempat salat. Maka hendaklah kalian mendirikan salat dan berikan kabar gembira kepada orang-orang yang beriman.”
Menurut Ibnu Abbas, saat itu Bani Israil merasa takut dari ancaman Firaun kalau melaksanakan salat di tempat-tempat peribadatan mereka. Maka Allah Swt. memerintahkan untuk salat di rumah. Dan menjadikan rumah-rumah mereka seperti masjid. Beribadah di rumah, kualitas pahalanya sama dengan ibadah di tempat ibadah seperti biasanya karena ada uzur.
Ketika Bani Israil merasa terancam kala salat, Allah Swt. lantas menunjukkan rahmatNya. Allah justru meminta agar salat dilaksanakan di rumah saja. Rumah bisa beralih fungsi menjadi masjid. Dan bila mereka merasa lemah iman karena tidak salat di tempat peribadatan umum karena takut Firaun, Allah Swt. justru memberikan kabar gembira kepada mereka. Laksanakan saja salat, dan bergembiralah. Karena Allah yang lebih tahu dengan kondisi mereka saat itu. Lebih paham dengan kondisi umatNya. Dan wewenang Allah untuk mengatur pahala mereka dan balasan yang akan mereka terima di hari kiamat.
Rahmat Allah Swt. ini kembali ditunjukkan kepada seorang pemuda yang sedang ketakutan. Sedang diancam untuk dibunuh. Adalah Yasir bin ‘Amir r.a. sang Ayah, Sumayyah binti Khayyath r.a. sang ibu. Dan Ammar r.a. putra mereka yang sedang disiksa oleh Bani Makhzum di masa jahiliah. Setelah sang ibu meninggal, lalu disusul sang Ayah, tinggal ‘Ammar yang mencoba bertahan. Tapi deraan siksaan begitu luar biasa. Ia sudah tidak kuat. Akhirnya ‘Ammar kemudian memuji tuhan-tuhan orang Quraisy. Menyekutukan dengan syahadat yang pernah dilantunkannya di hadapan Rasulullah Saw..
Sekali lagi terjadi benturan. Kali ini lebih dahsyat. Benturan dalam masalah aqidah dan bukan ibadah. Benturan dalam pondasi dasar ajaran agama islam. Benturan antara iman dan kafir. Benturan antara tauhid dan syirik.
Sama seperti kasus bani Israil, Allah Swt. yang wajib untuk diimani, berbenturan dengan hak manusia yang masih ingin hidup. Sehingga terpaksa untuk mengucapkan kalimat kafir. Allah Swt mengabadikan benturan ini dalam surat an-Nahl ayat 106. Allah Swt. berfirman, “Barangsiapa yang kafir kepada Allah setelah dia beriman, (akan mendapat murka Allah) kecuali seseorang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan. Akan tetapi barangsiapa yang lapang dada dengan kekafiran, maka bagi mereka kemurkaan Allah dan mereka akan mendapatkan azab yang pedih.”
Pemahaman tentang Allah Swt. yang selalu memberikan rahmat, yang tidak pernah egois, yang lebih mementingkan kondisi hamba-hambaNya kala taat kepadaNya, selalu terpatri dalam diri Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Sehingga mereka mengejawantahkannya dalam aqidah, ibadah, akhlak dan muamalah bila terjadi benturan.
Bahkan bila benturan antara hak Allah Swt. dan hak manusia terjadi tanpa ancaman nyawa. Hanya sakit yang bisa disembuhkan singkat. Hanya cuaca yang kurang bersahabat. Atau hanya karena bau tidak sedap yang keluar dari mulut seseorang. Hak manusia lebih didahulukan.
Seperti melaksanakan salat Jumat saat hujan. Dalam riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Ibnu Abbas r.a. pernah meminta muadzin salat Jumat mengumandangkan panggilan “Salatlah di rumah kamu, salatlah di rumah kamu” saat hujan. Orang-orang yang pertama kali mendengarnya heran. Karena tidak biasa model azan seperti itu dikumandangkan.
Lagipula ini salat Jumat. Salat yang wajib dilaksanakan seminggu sekali. Sangat besar pahalanya di sisi Allah Swt.. Hukumnya fardu ‘ain atau wajib bagi setiap mukallaf yang sehat dan statusnya mukim. Apakah karena hujan biasa dapat dilaksanakan di rumah? Apakah semudah itu menggugurkan kewajiban Jumat berjamaah di masjid? Ibnu Abbas r.a. lantas menegaskan, “Apakah kalian heran. Ketahuilah ada orang yang lebih mulia dariku (Rasulullah Saw.) juga melaksanakannya. Aku tahu salat Jumat adalah kewajiban utama. Tapi aku khawatir kamu datang ke masjid dengan kaki penuh lumpur”.
Semangat untuk mengutamakan hak manusia terlebih dahulu, seakan menjadi salah satu ciri ajaran agama Islam. Semangat inilah yang memunculkan hukum rukhsah dalam ibadah. Contohnya puasa. Ketika diwajibkan menahan lapar dan dahaga selama sebulan penuh, Allah Swt. masih tetap memberikan pengecualian yang sanggup melaksanakannya. Bahkan walaupun memiliki fisik yang kuat, Allah Swt. masih memberikan pengecualian bagi orang yang melakukan perjalanan untuk berbuka. Walaupun perjalanan tersebut menggunakan pesawat terbang di kelas VVIP. Karena tujuannya untuk memudahkan hambaNya dalam melaksanakan ibadah.
Allah Swt berfirman, “…Dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka), maka hendaklah ia menghitung (untuk melakukan puasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran” (QS. Al-Baqarah: 184).
Ketika Allah Swt. sudah memudahkan ibadah, kenapa kita justru membuatnya semakin sulit? Ketika Allah Swt. ingin menjaga keberlangsungan manusia di atas muka bumi ini, kenapa kita justru ingin memberangus kehidupan tersebut? Para ulama fikih sejak zaman salaf telah membuat kaidah, “Hak Allah dibangun atas dasar memudahkan dan memaafkan. Sementara hak manusia dibangun atas dasar keterbatasan.” Dari kaidah ini mengalir kemudahan-kemudahan dalam melaksanakan ibadah dengan memperhatikan kondisi, waktu dan tepat pelaksanaannya.
Ketika Allah Swt. tidak egois kala seorang hamba beribadah kepadaNya. Allah malah masih mempertanyakan apakah nyawanya terancam? Allah masih memperhatikan kondisi fisiknya apakah sehat atau sakit? Allah masih melihat kondisinya apakah mukim atau safar? Allah masih mengecek kondisi alam apakah cerah atau hujan? Allah masih bertanya apakah ibadah itu tidak terganggu dengan bau mulut hasil makan bawang putih? Kenapa kita justru mengesampingkan semua keringanan dari Allah saat beribadah kepadaNya.
Terutama saat pandemi seperti sekarang. Saat ketika penularan yang akan berujung terenggutnya nyawa seorang manusia. Saat protokol kesehatan tetap harus diterapkan di tempat-tempat ibadah. Saat semua harus tetap terjaga untuk memutus mata rantai covid19. Saat ulama telah mengejakan fatwanya. Saat umara telah menitahkan perintahnya. Saat hati-hati tetap diperlukan untuk menjaga keberlangsungan umat manusia.
Namun tetap saja ada yang tidak sependapat. Punya ijtihad lain. Ketika Allah sebagai sang Khalik tidak egois. Kenapa justru bibit egoisme yang muncul dari kita. Apakah memang kita murni ingin melaksanakan ibadah sesuai dengan tuntunan Allah Swt.? Atau memang ada niat lain yang tersembunyi dibalik ibadah tersebut? Wallâhu a’lam.