Belajar Dari Aco, ODGJ Asal Batui
OLEH: SUTOPO ENTEDING
Aco-begitu ia biasanya disapa. Sebagian warga Kota Luwuk mengenalinya. Ia menyusuri berbagai sudut Kota Luwuk, tanpa tujuan. Penampilan sehari-harinya seperti tak berubah. Ia kerap mengenakan sepasang baju lengkap dengan celana pendek. Terbanyak, Aco memakai jersi klub sepakbola kenamaan.
Meskipun terlihat necis dengan stelan pakaiannya, tapi penampilan Aco tak begitu ‘sempurna’. Aco, tak menggunakan alas kaki. Kaki jangkungnya yang telanjang dia gunakan menapaki jalanan Luwuk. Aco mengaku, nama resminya adalah Ajin, tapi ia lebih karib dipanggil Aco.
Keraguan pengakuan namanya Ajin itu pun terbayar saat motor yang saya kendarai membonceng Aco melintas di Kilo 5. Sekitar tujuh remaja berseragam SMK tetiba memanggil Aco dengan panggilan Ajin.
Bukan soal tampilan pakaiannya yang menjadi topik bahasan tulisan ‘mungil’ ini, tapi soal statusnya sebagai Orang Dalam Gangguan Jiwa (ODGJ) yang melebihi pemahaman sebagian kecil mereka yang lebih sadar jiwanya.
Rabu (24/4/2024) siang, mentari cukup terik. Siang ini sekira pukul 10.00 Wita, saat mengendarai sepeda motor dari arah Mendono menuju Luwuk, saya bertemu Aco di Desa Koyoan, Kecamatan Luwuk Selatan.
Meskipun terik mentari cukup menyengat, Aco tak peduli. Ia menyusuri pinggiran jalan arah Luwuk. Tanpa alas kaki, di tangannya dua kantongan berisi penuh digenggamnya. Saya pun menawari tumpangan. Aco dengan khas tertawa lebar menyambut tawaran itu.
Percakapan mengalir sepanjang jalan dengan kecepatan 30 KM/jam. Dari percakapan inilah muncul naluri jurnalis untuk menuangkannya dalam sebuah catatan mungil nan sederhana ini.
“Mana sandalmu? Kenapa tidak pake sandal,” saya melempar pertanyaan sekenanya.
Jawaban Aco seketika menyadarkan jiwa terdalam. “Dia mungkin lebih mulia dari saya,” gumamku.
Aco bercerita bahwa ia sengaja tidak memakai sandal. Ia beralasan bahwa sandalnya disimpan baik-baik dan akan digunakannya ketika hendak menuju masjid untuk menunaikan Salat Idul Adha. Bahkan, ia pun menyebut Salat Idul Adha akan dilaksanakan dua bulan akan datang.
Sandalnya yang ia simpan di kediamannya di Kelurahan Tolando, Kecamatan Batui hanya dipakainya saat Salat Idul Fitri, 13 hari yang lalu. “Saya pake itu sandal pas sambayang hari raya. Baru saya so simpang, mo pake sambayang hari raya lagi. Kan dua bulan lagi toh?,” tutur Aco sembari melempar balik pertanyaan.
Selain ia melaksanakan Salat Idul Fitri, Aco juga mengaku, sering melaksanakan salat-salat lainnya. Sepanjang perjalanan, Aco tak berhenti bercerita.
Sebelum menunaikan salat, Aco memulainya dengan mandi bersih. Saat hendak melaksanakan salat, Aco mengambil air wudhu. Ia menyebut kata wudhu dengan ‘bajene’ (bajene, Bahasa Saluan yang berarti berwudhu).
Untuk memastikan apakah ia benar-benar berwudhu, saya mencoba menanyainya soal tata cara berwudhu. Aco tanpa terbata-bata menguraikan cara berwudhu dengan benar. Ia menyebut, memulainya dengan mencuci kedua tangannya, lalu berkumur, membersihkan hidung dan seterusnya, hingga mencuci kedua kakinya sebagai akhir dari proses berwudhu.
Tata cara salat pun ia mengerti. Meskipun tidak hapal secara lengkap bacaan salat, tapi ia meyakinkan bahwa ketika melaksanakan salat, tidak boleh bermain. Dengan tertibnya, Aco mengikuti seluruh rangkaian salat hingga salam sebagai penanda berakhirnya rangkaian Rukun Islam ke dua itu.
Dari penjelasan tata cara berwudhu yang benar itu kian mengisyaratkan bahwa Aco hanya lupa pada dirinya sendiri, tapi tidak lupa akan tuhannya.
Di bulan Ramadan kemarin, Aco mengaku berpuasa penuh. Ia mengaku, tak makan dan tak minum saat fajar tiba. Ia berbuka saat azan berkumandang. Tengah malam yang disebutnya sekira pukul 03.00 dinihari, Aco makan.
Makan di tengah malam saat Ramadan, Aco dengan fasihnya menyebut itu adalah makan sahur. “Puasaku pol, tek bamakan saya kalu siang. Nanti pas babuka, baru saya babuka juga,” kata Aco.
Tak terlihat seperti ODGJ ketika ia bercerita mulai wudhu, salat hingga berpuasa. Bahkan, Aco memperingatkan bahwa salat dan berpuasa adalah kewajiban. Jika tidak melaksanakan perintah Sang Maha Khalik, maka balasannya adalah dosa. Demikian sebaliknya ketika mengerjakan perintah Allah, maka balasannya adalah pahala.
Seperti prosesi wawancara. Saya pun menanyainya soal hal lain. Seperti, ketika lapar dan dahaga dari mana Aco mendapatkan makanan dan minuman.
Dari pengakuannya, ia membeli makanan dan minuman. Lalu, dari mana ia mendapatkan uang untuk membeli kebutuhan konsumsinya itu? Aco dengan polosnya mengaku, uang itu hasil pemberian orang lain. “Banyak yang bakase saya doi. Itu saya pake babili nasi deng aer,” jawabnya.
Meskipun ia tak punya uang dan dalam kondisi lapar sekalipun, Aco mengaku, tak pernah mencuri. Didikan orang tuanya rupanya masih melekat. Praktis, hanya menerima pemberian orang lain.
Ketika melewati jalan komplek Markas Kodim 1308/LB, Aco berujar hendak menjadi seorang tentara. Sembari tertawa lebar.
Perbincangan akhirnya terputus di pertigaan jalan komplek Kodim. Aco meminta turun di pertigaan, depan masjid Kodim.
Sembari berkelakar, saya pun meminta bayaran Rp20 ribu untuk sekali tumpangan dari pengujung Desa Koyoan hingga Luwuk. Aco hanya menjawab dengan tawanya yang lebar.
Aco, sang ODGJ yang hanya lupa pada dirinya sendiri, tapi tidak dengan tuhannya.
Wallahu A’lam bissawab