SPPD; Antara Tugas & Plesiran
OLEH: SUTOPO ENTEDING
Tetiba saya tersenyum sendiri mengingat percakapan dua anggota Dewan Banggai. Catatan kecil nan mungil ini terinspirasi dari situ.
Saya ingin menarasikan terlebih dahulu percakapan keduanya.
Anggota dewan ‘senior’ yang merupakan petinggi fraksi ketika itu (saya ingat tempatnya, tapi lupa waktunya) sedang asyik diskusi kecil dengan saya. Hanya berdua. Lalu, tiba-tiba salah satu anggota dewan yang merupakan sefraksi dengan anggota dewan ‘senior’ masuk ke ruang fraksi.
Anggota dewan ‘senior’ langsung melemparkan pertanyaan.
Kira-kira percakapan antara anggota dewan ‘senior’ versus ‘junior’ seperti ini.
‘Senior’: Dari mana pak?
‘Junior’: Dari kota ……….
‘Senior’: Bapak tidak bakase tahu kalau keluar kota, tidak balapor.
‘Junior’: Tiba-tiba berangkat pak, ada urusan keluarga mendadak.
‘Senior: Tapi pake SPP toh?
‘Junior’: Iya pak, pake (SPPD).
‘Senior’: Ohh, kalau pake SPPD itu tidak mendadak. Terencana.
‘Junior’: ….. (sembari tersenyun).
Percakapan singkat ini yang tetiba terlintas di pikiran saya. Nah, di situlah saya tersenyum sendiri mengingatnya. Dari percakapan singkat kedua wakil rakyat itu sudah mengisyaratkan si ‘junior’ tak ingin merogoh kocek pribadi demi mengurusi urusan pribadi.
SPPD adalah singkatan dari Surat Perintah Perjalanan Dinas. SPPD adalah surat tugas kepada pejabat negara, pejabat daerah, pegawai negeri sipil dan pegawai tidak tetap untuk melaksanakan perjalanan dinas.
Setiap pejabat negara, pejabat daerah, PNS disiapkan anggaran khusus perjalanan dinas. Tentu outputnya berbeda-beda.
Bahkan, dijatahi. Wakil rakyat Parlemen Lalong dan pejabat daerah misalnya. Dalam setahun diberi kuota untuk melaksanakan tugas luar daerah, luar Kabupaten Banggai hingga luar Pulau Sulawesi.
Tujuannya beragam. Kepentingan konsultasi hingga peningkatan kompetensi. Muaranya adalah kepentingan pelaksanaan pemerintahan daerah. Jika dilaksanakan dengan maksud demikian, maka tidaklah jadi soal.
Yang jadi soal adalah ketika SPPD itu dijadikan jembatan untuk mengurusi hal lain yang tak ada sangkut pautnya dengan kepentingan daerah ini. Artinya, nebeng urusan pribadi/keluarga serta kelompok dalam pembiayaan negara.
Untuk menyatakan bahwa agenda menggunakan SPPD kepentingan tertentu, bukan kepentingan kemaslahatan daerah, itu hal yang tak benar. Bukan untuk menghakimi, tapi secara sederhana asumsinya mengarah ke kepentingan pribadi.
Jika sebagian besar berperilaku demikian, maka berapa banyak anggaran daerah/negara yang terbuang sia-sia? Mudah-mudahan fenomena sekaligus fakta demikian, hanya dilakoni para pejabat dalam hitungan jari. Tidak menghinggapi seluruhnya atau sebagian besar para pengguna SPPD.
Mari menghitung sederhana.
Hitungan ini khusus para wakil rakyat. Jumlah wakil rakyat Parlemen Teluk Lalong berjumlah 35 orang. Setiap dari mereka, mendapatkan jatah perjalanan dinas keluar Pulau Sulawesi 7 hingga 8 kali dalam setahun.
Dengan demikian, maka total perjalanan wakil rakyat keluar Pulau Sulawesi adalah, 35 dikalikan 7 kali (hitungan standar rendah), 245 kali perjalanan.
Setiap perjalanan keluar Pulau Sulawesi, mereka dijatahi anggaran di kisaran Rp15 juta hingga Rp16 juta. Dengan 245 kali perjalanan dikalikan Rp15 juta (nominal terendah), maka didapatkanlah anggaran Rp3.675.000.000. Nominal anggaran yang cukup besar bukan?
Tak hanya keluar Pulau Sulawesi, mereka juga dijatahi keluar daerah di wilayah Sulawesi. Ada pula perjalanan dalam daerah yang juga menggunakan SPPD.
Itu baru sebatas estimasi di lembaga Dewan Banggai.
Bagaimana dengan para pejabat Pemda Banggai yang juga menggunakan SPPD dan nominal anggarannya serupa? Ah, saya berhenti menghitungnya, karena tak mengetahui jumlah pasti pejabat dari eselon II hingga ke bawah. Nominalnya pun tak saya ketahui. Dengan begitu, saya pun tak ingin berasumsi meskipun sebatas kalkulasi sederhana.
Untuk dapat melaksanakan tugas perjalanan dinas, mereka harus menemukan masalah untuk diurai. Konsultasi atau semacam apalah.
Semakin banyak masalah bermunculan ke permukaan hingga berada di lembaga dewan, maka semakin banyak pula alasan mereka keluar daerah.
Dalam rekam jejak penanganan masalah di lembaga dewan, pada akhirnya melahirkan rekomendasi. Simak rekomendasi yang ditelurkan lembaga penyalur aspirasi rakyat, salah satu poinnya berujung konsultasi dan peninjauan lapangan. Lagi-lagi, SPPD.
Mirisnya, ketika membahas masalah kerakyatan, tak semua anggota komisi hadir berkecimpung untuk sekadar memikirkan solusi, menyumbangkan buah pikirnya hingga membedah masalahnya. Giliran berangkat perjalanan dinas, tak mau ketinggalan.
Di era kecanggihan teknologi, sejatinya masalah yang terjadi tak perlu direpotkan dengan urusan konsultasi. Sebab, semua regulasi tak sulit untuk diakses. “Tanya saja om Google,” begitu sederhananya menemukan ‘apa pun’, apalagi regulasi.
Meskipun tak semua harus menyandarkan pencarian referensi di situs yang didirikan Larry Page dan Sergey Brin saat mereka menjadi mahasiswa Ph.D di Universitas Stanford.
Urusan lainnya memang membutuhkan pertemuan tatap muka.
Titipan plesiran juga dapat ditemukan. Ketika rapat koordinasi antara beberapa OPD dan komisi, salah satu wakil rakyat menyampaikan sorotannya.
Sorotan yang ditujukan kepada salah satu OPD itu, karena tak mampu meningkatkan penerimaan pendapatan asli daerah. Setelah menyorot, sang wakil rakyat itu menitip sesuatu agar OPD yang disorotnya itu membuat program ke kabupaten berstatus daerah destinasi wisata pesohor dunia.
Alasan sederhananya, hendak mengadopsi cara pengelolaan wisata untuk diterapkan di Kabupaten Banggai. Lagi-lagi, referensi itu sejatinya dapat ditemukan di berbagai website.
Tak ada yang salah dengan penyediaan anggaran perjalanan dinas. Sebab, regulasi memberi ruang bagi mereka para pemangku jabatan.
Namun, di balik itu semua, penulis ingin menggugah bahwa anggaran perjalanan dinas dapat ditekan/dipangkas seefisien mungkin, demi mengakomodir pembiayaan program berbasis kerakyatan.
Dengan anggaran puluhan milir untuk perjalanan dinas, apabila dipangkas sebagiannya, bisa dipastikan akan banyak ruang kelas baru dibangun, akan banyak fasilitas pendidikan yang tersedia. Infrastruktur, jalan, jembatan dapat dibangun dengan anggaran tersebut.
Meskipun diberi ruang regulasi, tapi dibutuhkan kepedulian para pemangku jabatan untuk mentitahkan dirinya menjadi pelayanan rakyat, bukan malah memanfaatkan kesempatan yang ‘direstui’ negara. Tabe’
Tanah Babasal, 29/5/’24’