Ating, Kakek Pincang Pencari Besi Tua Susuri Jalanan Kota Luwuk

0

Kondisinya yang pincang tak membuatnya hanya mengiba meminta-minta, memelas rasa kasihan orang lain. Ating, namanya. Kakek yang sudah berusia sekira 62 tahun itu harus berpeluh keringat menyusuri jalanan Kota Luwuk, mengumpulkan besi tua untuk digantikannya dengan uang yang nominalnya tak seberapa.

 

Laporan: Sutopo Enteding, Luwuk-Banggai

Arah jarum jam menunjukkan pukul 11.50 Wita. Luwuk, Ibu Kota Kabupaten Banggai yang dalam sepekan ini diguyur hujan, siang ini terlihat terik. Mentari sedari pagi, Rabu (24/7/2024) sudah menunjukkan teriknya.

Terik mentari tak membuat semangat Ating, untuk menyusuri jalanan Kota Luwuk. Ating, pria kelahiran Ambelang, Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep) kondisinya pincang. Kaki kirinya terlihat lebih kecil dibandingkan kaki kanannya yang berukuran normal.

Ating saat itu menyusuri Jalan Urip Sumoharjo, Kelurahan Karaton, Kecamatan Luwuk. Tak jauh dari kantor Bank Syariah Indonesia (BSI), ia menyusuri jalanan. Di tangan kirinya ia memegang tali yang diikatkan ke magnet. Di tangan kanannya, ia memikul karung. Begitulah kesehariannya.

Magnet yang diikatkan di seutas tali berfungsi untuk mengangkat besi yang tertempel di maget. Besi tua berbagai jenis yang berhamburan di jalanan, ia kumpulkan di karung.

Ating tinggal di sebuah rumah indekos di Jalan Rajawali, Luwuk. Ia sendiri. Di usianya yang telah renta, tanpa teman. Anak semata wayangnya telah berumah tangga dan tinggal di Bangkep. Sementara sang istri, telah menceraikan Ating sesaat setelah ia masih belajar berjalan kembali usai musibah menimpanya. “Saya ba-kos om, tinggal sendiri,” singkat Ating kepada Okenesia.com yang menyapanya.

Di rumah indekos itu, Ating wajib membayar Rp250 ribu per bulan. Ia pun sanggup membayarnya, meskipun kadang terlambat melunasi pembayaran rumah indekos.

Awalnya, Ating adalah seorang pekerja sebagai pemanjat kelapa. Nahas menimpa Ating. Ia terjatuh saat memanjat kelapa. Tangga yang digunakannya rupanya rapuh. Itulah sebabnya, Ating berjalan pincang. “Jatuh dari pohon kelapa saya om,” kata Ating.
Kakinya tidak patah. Hanya tulang belakangnya bengkok.

Dari sinilah kondisi Ating mulai tak baik. Ia tak bisa lagi bekerja seperti biasanya. Ating tak ingat lagi kapan ia terjatuh. Ia hanya mengingat, saat musibah menimpanya, anak semata wayangnya baru berusia enam bulan. Masih bayi.

Pemilik pohon kelapa bertanggungjawab atas musibah itu. Ating diberi biaya hidup. Sayangnya, saat musibah menimpanya, Ating tak langsung dibawa ke rumah sakit untuk perawatan pemulihan. Praktis, ia hanya mendapatkan perawatan secara tradisional, hanya diurut saja. Tak pernah menginjakkan kaki di rumah sakit. “Hanya diurut saja ini om,” kenang Ating.

Ating tak menyerah. Demi tanggung jawab sebagai kepala keluarga, ia tetap berusaha kembali berjalan normal. Dalam kondisi ini, sang istri sempat merawatnya. Namun, sang istri sepertinya lelah merawat Ating dan akhirnya meninggalkannya.
Dalam kesendirian ini, Ating tetap berjuang menghidupi buah hatinya yang masih balita. Ia kembali bekerja sebagai pemanjat kelapa dan pengelola kopra tak bisa lagi ia lakoni.

Kesulitan mencari pekerjaan di Bangkep, enam tahun silam akhirnya ia memilih pindah ke Luwuk, Kabupaten Banggai.

Kondisinya yang pincang permanen disadari Ating, tak ada yang mau mempekerjakannya. Beberapa kali ia mencoba mendatangi tempat kerja, Ating selalu ditolak. Ditambah lagi, ia tak punya keterampilang khusus menambah daftar penolakan.

Ating tak punya pilihan. Ia akhirnya memilih menjadi pengumpul besi bekas atau besi tua. Besi-besi yang ia pungut berceceran di jalanan dikumpulkannya. Praktis, cara kerjanya mudah. Hanya menyiapkan magnet, lalu diisi dalam karung.

Meskipun tertatih-tatih, Ating tetap memaksakan diri berjalan menyusuri Kota Luwuk. Dari Jalan Rajawali tempat ia tinggal, ia berjalan kaki. Arah utara Kota Luwuk, Ating hanya mampu menyusuri hingga Kilo I, Kelurahan Bungin, Kecamatan Luwuk. Sementara arah Selatan, Ating hanya mampu hingga Kilo 5, Kelurahan Maahas, Kecamatan Luwuk Selatan. Rutenya itu-itu saja.

Pagi sekira pukul 8.00, Ating mulai turun dari rumah kontrakannya. Siang menjelang Azan Zuhur, ia sudah berada di kontrakannya. Berjalan kaki.
Hasil besi tua atau besi bekas yang dipungutnya itu ia bawa kembali. Ia kumpulkan di kontrakannya. Ia akan menjualnya jika besi-besi itu sudah cukup banyak. “Paling satu bulan baru saya jual,” kata Ating.
Dalam sebulan, Ating bisa menjual besi-besinya itu hingga 200 Kg. Sekilo dibanderol Rp3.5000 per Kg. Dengan besi hasil kumpulannya itu, Ating mendapatkan uang Rp700 ribu. Uang inilah yang digunakannya untuk mengisi perutnya dan disimpan membayar kontrakannya.

Jika hasilnya tak seberapa, kadang uang kontrakannya telat dibayar. Bahkan, Ating harus mengurangi porsi makannya.
Di tengah keterbatasannya itu, Ating selalu bersyukur atas nikmati Sang Maha Empunya. “Alhamdulillah ada rezeki,” ucap Ating sembari memperlihatkan karungnya yang ternyata berisi mie instan dan gula hasil pemberian orang baik saat melintas di Tugu Adipura, Luwuk.

Ketegaran Ating terlihat ketika dengan tegas ia menolak menjadi peminta-minta mengharap rasa kasihan dari orang lain. “Saya tidak berani meminta-minta di jalan,” tegas Ating.

Selain tak berniat menjadi peminta-minta, Ating mengaku, menghindari untuk mencuri milik orang lain. “Yang penting jangan mencuri,” katanya. (**)

Comments
Loading...
error: Content is protected !!