Upaya Pemda Banggai Raup Peluang Ekonomi Dari Sabut Kelapa
BANGGAI, OKENESIA.COM- Sebagian orang memandang sabut kelapa hanya sebatas sampah. Mungkin tak semua menjadi sampah, tapi dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembakaran. Hanya sebatas itu, tidak lebih. Namun, tahukah anda bahwa sabut kelapa memiliki nilai ekonomis. Di kalangan masyarakat yang hanya sebatas menjadi sampah dan dibakar begitu saja, rupanya bernilai ekonomis bisa menjadi tambang uang.
Pemda Banggai telah memikirkan hal ini. Kebijakan Pemda Banggai itu diwujudkan dengan menggandeng Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Pemda memanfaatkan sumber daya BRIN untuk membuat kajian akademis berdasarkan data-data empiris.
Kajian pengolahan sabut kelapa itu telah tuntas yang dituangkan dalam ringkasan kajian pemberdayaan masyarakat dan Badan Usaha Milik Desa atau BUMDes dalam memanfaatkan sabut kelapa menjadi produk bernilai tambah berorientasi ekspor untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Banggai. Kajian ini oleh Direktorat Diseminasi dan Pemanfaatan Riset dan Inovasi Daerah, BRIN.
Berikut uraian Kepala Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) Banggai, Andi Nursyamsy Amir kepada Okenesia.com usai kegiatan Bimbingan Teknis Penyusunan Policy Brief sebagai upaya penguatan kebijakan berbasis riset di Kabupaten Banggai, Kamis (22/8/2024) di Ruang Rapat Khusus Kantor Bupati Banggai.
Hasil kajian itu mencakup tiga poin. Yakni, masalah, potensi dan solusi.
Poin pertama kata Andi Nursyamsy adalah masalah, yaitu, pengolahan kelapa masih dominan pada pengolahan daging dan air kelapa. Limbah sabut kelapa belum dijadikan potensi pendorong peningkatan ekonomi masyarakat. Jumlah pengangguran sebesar 3,09 persen dari total angkatan kerja atau sebesar 6.724 jiwa (data BPS tahun 2023).
Masalah berikutnya adalah unit usaha Bumdes sebagai salah satu aktor penggerak perekonomian di desa belim didominasi unit usaha yang berbasis potensi unggulan desa. Peningkatan kapasitas masyarakat dan akses pasar terkait produk turunan kelapa belum optimal dilakukan.
Poin kedua adalah potensi. Menurut Andi Nursyamsy, potensi pohon kelapa di Kabupaten Banggai cukup besar. Yakni, luas areal kebun kelapa 59.662,13 hektare. Jumlah kelapa produktif sebanyak 4,5 juta pohon.
Rata-rata produksi buah kelapa 50.760,01 ton per tahun. Hitungan potensinya, 1 pohon kelapa memproduksi 151 butir buah kelapa per tahun. Dengan jumlah pohon kelapa produktif 4,5 juta pohon itu menghasilkan 679.500.000 butir buah kelapa per tahun.
Setiap satu pohon kelapa menghasilkan limbah sabut kelapa 30 hingga 50 Kg sabut basah atau 360.000-600.000 ton per tahun. Hitungan lainnya, setiap satu pohon kelapa menghasilkan limbah sabut kelapa 15 hingga 25 Kg sabut kering atau 180.000 hingga 300.000 ton per tahun.
Potensi pasar internasional membutuhkan 2.800 hingga 3.300 ton coco bristle per tahun. Sementara hingga Saat Ini, Indonesia hanya mampu memenuhi 25 persen dari permintaan tersebut. Masih 75 persen belum terpenuhi.
Peluang ekonomi terbuka lebar dengan pengolahan sabut kelapa. Turunan produk berbasis sabut kelapa itu adalah coco bristle. Coco bristle adalah serat sabut kelapa yang telah dipisahkan dari serabutnya. Coco bristle dibuat menggunakan mesin defibering dan memiliki bentuk yang panjang, halus, dan kuat. Coco bristle dapat digunakan untuk membuat sapu lantai, sikat, dan sebagai media tanam untuk tanaman anggrek.
Coco fibre atau serat sabut kelapa, adalah produk turunan sabut kelapa yang memiliki banyak kegunaan. Coco fibre dibuat dari kulit luar kelapa dan berbentuk serat kasar berwarna emas kecoklatan.
Berikutnya adalah coco feat, Cocopeat adalah media tanam alternatif yang dibuat dari serbuk serabut kelapa. Coco feat memiliki daya serap air yang tinggi dan dapat menyimpan air 10 kali lebih baik daripada tanah. Ini membuatnya cocok untuk sistem bertanam hidroponik dan untuk daerah dengan curah hujan rendah.
Coco feat juga dapat digunakan sebagai media semai, stek tanaman, dan pupuk organik.
“Ada beragam kegunaan dari pengolahan sabut kelapa ini,” kata Andi Nursyamsy.
Potensi sabut kelapa kering di Kabupaten Banggai bernilai ekonomi tinggi. Dengan produksi sabut kelapa antara 180 ribu ton hingga 300 ribu ton dikalikan Rp6.000 per Kg hingga Rp6.500, hasilnya menggiurkan. Produksi 180 ribu ton sabut kelapa dikalikan dengan harga Rp6.000, hasilnya Rp1.080.000.000.000 dan harga Rp6.500 per Kg,hasilnya Rp1.170.000.000.000.
Bagaimana jika produksinya mencapai 300 ribu ton Kg? maka nilai rupiahnya Rp1 triliun 800 miliar (harga Rp6.000 per Kg) dan Rp1 triliun 950 miliar (harga Rp6.500 per Kg).
Selain menguraikan masalah dan potensi, kajian itu memuat solusi. Yakni, dengan memberdayakan 6.724 anggota masyarakat yang berstatus sebagai pengangguran sebagai pekerja pengolah limbah sabut kelapa.
Menjadikan Bumdes sebagai penggerak pengolahan limbah sabut kelapa di desa, dengan meningkatkan kolaborasi antar instansi pemerintah melalui koordinasi efektif dan program untuk mendukung pemanfaatan potensi daerah.
Hal lain, menyusun rencana aksi yang dapat langsung diimplementasikan oleh instansi pemerintah daerah dengan memastikan keberpihakan atau dukungan anggaran.
Bekerja sama dengan peniliti atau perguruan tinggi untuk mengembangkan diversifikasi produk turunan beserta peralatan industri penunjang produk.
“Kami sudah lakukan rapat dengan beberapa OPD lain, Ini harus diseriusi. Kita tidak pernah sadari potensi daerah ini ada sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Saya juga sudah sampaikan terkait kolaborasi ini. Di TPHP (Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan) saya sampaikan, mulai hari ini tolong identifikasi laju penebangan pohon kelapa. Jangan sampai ditebang pohon kelapa untuk ditanami dengan jenis tanaman lain,” tegas Andi Nursyamsy.
Andi melanjutkan, hal terpenting dari pengolahan sabut kelapa ini adalah buyer atau pembeli. Istilahnya, proses bisnis sabut kelapa. Sebab, seberapa besar potensi yang ada, jika tanpa pembeli, maka potensi itu tidak akan berubah menjadi lembaran uang.
Nah, potensi ekonomi ini yang wajib menangkap peluang pengelolaan bisnisnya adalah Bumdes. Bumdes akan menjadi pembeli di tingkatan pertama. Selanjutnya, Bumdes yang akan melakukan ekspor secara langsung ke pembeli.
Untuk pembeli potensi sabut kelapa menurut Andi Nursyamsy, tidaklah sulit. Sebab, empat negara yang bersedia menjadi pembeli utama. Yakni, China, Jepang, Qatar serta Korea.
Di akhir, lulusan IPDN Jatinangor ini menegaskan, upaya ini dapat berjalan dengan sukses, apabila semua pihak membangun kolaborasi didukung dengan penyediaan anggaran pemerintah. “Kita harus seriusi ini,” ungkap Andi Nursyamsy. (top)