337 Hari Badai Al-Aqsha, Genosida Terus Berlanjut, Negosiasi Gencatan Senjata Buntu

0

JAKARTA, OKENESIA.COM- Perang di Jalur Gaza, Palestina seolah belum menunjukkan kesudahan. Perang yang telah berlangsung selama 337 hari terhitung sejak tanggal 7 Oktober 2023 hingga hari ini, Ahad (8/9/2024) telah merenggut puluhan ribu nyawa tak berdosa. Tindakan biadab militer Pendudukan Israel tak henti-hentinya melancarkan serangan brutal sebagai aksi genosida. Sementara negosiasi gencatan senjata sepertinya buntu.

Yayasan Persahabatan dan Studi Peradaban (YPSP) merilis kondisi di Jalur Gaza. Lembaga kemanusiaan nirlaba yang dipimpin DR. Ahed Abo Al Atta, warga asli Palestina dan saat ini bermukim di Indonesia merinci kondisi kekinian di tanah kelahiran para nabi itu.

Perkembangan paling menonjol tercatat di Masjid Al-Aqsa yang diberkahi, yang halamannya menjadi saksi pelanggaran serius. Sebagian besar terjadi dalam peringatan “Penghancuran kuil suci” dan setelahnya, ketika kelompok ekstremis Yahudi mulai bernyanyi bahwa apa yang terjadi adalah sebuah titik balik sejarah yang dramatis yang belum pernah disaksikan oleh tempat suci ini selama seribu tahun.

Militer Israel terus melanjutkan serangkaian kejahatan genosida terhadap keluarga Palestina di Jalur Gaza, tanpa sedikitpun memperhatikan rumah, masjid, rumah sakit, bahkan pusat penampungan seperti sekolah dan tenda yang tidak bersalah.

Jumlah korban agresi meningkat menjadi lebih dari 40.878 orang yang mati syahid dan 94.454 orang terluka. Penghancuran dan pemboman lebih dari 70 persen unit pemukiman dan bangunan, penghancuran lebih dari 90 persen masjid yang hampir hancur seluruhnya. Penyerangan semua rumah sakit, kantor pusat dan lembaga layanan pemerintah.

Tak hanya di Jalur Gaza, serangan dilancarkan di Tepi Barat. Selama 10 hari berturut-turut, pasukan pendudukan Israel melanjutkan agresi intens mereka terhadap kota-kota dan kamp-kamp di Tepi Barat. Kementerian Kesehatan mengumumkan bahwa jumlah jasad yang mencapai rumah sakit di Tepi Barat mencapai sekitar 40 syahid, dengan 150 orang terluka oleh tembakan tentara pendudukan sejak serangan besar-besaran pertama ke Tepi Barat bagian utara.

Sementara perundingan gencatan senjata setelah sekitar 11 bulan agresi terhadap Jalur Gaza, Perdana Menteri Pendudukan Israel, Benjamin Netanyahu masih membuang peluang kemajuan dalam perundingan gencatan senjata, bersikeras bahwa tentara pendudukan tetap berada di Poros Philadelphia (Salah al-Din/Netzerim) untuk melakukan pemeriksaan kepada mereka yang kembali ke Jalur Gaza.

Tentara pendudukan Israel baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka telah menemukan mayat enam tahanan (Hamas) yang mereka bunuh sendiri di Rafah. Berita ini memicu gelombang kemarahan besar, demonstrasi, protes, dan pemogokan terhadap pemerintah Netanyahu.

Rakyat menuntut agar pemerintah membuat kesepakatan atau tidak Netanyahu didesak turun dan digantikan.

Pernyataan Abu Ubaida, juru bicara Brigade Al-Qassam, menunjukkan bahwa kepemimpinan perlawanan menginstruksikan tentaranya bahwa jika pasukan militer mendekati keberadaan para tahanannya, pasukan yang bertugas melindungi mereka akan segera mengeksekusi mereka. Sikap itu memicu aksi jalanan Israel dalam menghadapi Perdana Menteri pendudukan, Benjamin Netanyahu.

Lebih dari sepuluh ribu tahanan di penjara-penjara pendudukan menderita pemukulan, pelecehan, dan penghinaan, di tengah meluasnya penyebaran penyakit pernapasan, kulit, dan pencernaan, serta penyakit bakteri dan jamur, karena tidak adanya unsur kebersihan sedikit pun dan perampasan hak mereka atas makanan, minuman, dan perawatan.

Ribuan tahanan juga menderita akibat penelantaran. Serangan medis yang besar dan disengaja terhadap mereka oleh layanan penjara, meningkatkan jumlah martir yang ditawan sejak 7 Oktober menjadi lebih dari 20 martir di penjara-penjara pendudukan, yang merupakan jumlah tertinggi yang tercatat dalam sejarah pergerakan tahanan.

Kondisi yang dialami warga Palestina memicu reaksi dari kalangan mahasiwa internasional. Mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di Amerika dan Eropa turun ke jalan menyuarakan kebenaran.

Protes di universitas-universitas Amerika merupakan tantangan baru bagi para pejabat lembaga-lembaga pendidikan kuno tersebut, terutama sejak mahasiswa dan dosen di universitas-universitas tersebut mengumumkan bahwa mereka berencana untuk melanjutkan protes pro-Palestina yang pecah pada akhir semester lalu, dan yang memicu gelombang demonstrasi di banyak ununiversitas Amerika di Eropa dan negara lain.

Meskipun tahun ajaran baru di Universitas Columbia baru akan dimulai beberapa hari kemudian, protes mahasiswa telah kembali terjadi di kampus New York, yang merupakan pusat gerakan demonstrasi pro-Palestina yang berpindah ke universitas universitas di seluruh dunia pada musim semi.

Perlu dicatat bahwa Rektor Universitas Columbia, Nemat Shafik, mengundurkan diri dari jabatannya pada pertengahan Agustus, setelah berbulan-bulan terjadi protes mahasiswa yang mendukung Jalur Gaza. (top/*)

Comments
Loading...
error: Content is protected !!