Ayo Menyepi Sejenak di Masjid!

0

Oleh: H. Iswan Kurnia Hasan, LC, MA

(Pimpinan Umum Okenesia.com/Direktur Alquran Institute Banggai)

OKENESIA.COM- Dalam hidup terkadang kita harus berhenti. Kembali menyendiri. Merenungi dan mengobservasi hati. Istirahat dari ritme dunia yang terus berjalan tanpa henti. Berteduh dari kehidupan yang tak pasti. Mengatur nafas sejenak, lalu melangkah kembali. Menyambut dunia yang selalu penuh arti. Untuk menyiapkan bekal menuju kehidupan yang abadi.

Ketika sibuk berkendara di jalanan, ada lampu merah yang meminta berhenti sejenak. Mengembalikan posisi netral kendaraan, lalu kembali berjalan. Ketika sibuk bekerja, ada sakit yang meminta berhenti sejenak. Mengistirahatkan gerak fisik, lalu kembali beraktivitas. Ada rambu dalam kehidupan yang mengajak kita untuk merenunginya, sebelum hidup betul-betul berhenti dengan kematian.

Pos-pos penghentian ini selain mengembalikan manusia ke titik nol, juga berfungsi sebagai charger. Karena kehidupan ibarat baterai handphone. Bila tidak di-charge kembali, tidak akan dapat digunakan sebagaimana mestinya. Lalu lowbatt dan tidak bisa menjalani kehidupan sejati. Sekalipun hayat masih dikandung badan.

Dalam tempo 24 jam misalnya, kita diminta berhenti sejenak untuk me-recharge kemanusiaan dengan salat. Lima kali sehari semalam. Setiap pekan di-charge dengan salat Jumat. Setiap tahun di-charge dengan puasa di bulan Ramadan. Dan di-charge selama hidup minimal satu kali, yaitu melaksanakan haji di Baitullah.

Setiap bulan Ramadan, Rasulullah saw. selalu berhenti sejenak. Mengasingkan diri dari kehidupan dunia. Kembali menyendiri untuk memberikan ruang hanya antara dirinya dan Allah Swt.. Rasulullah saw. mengisi kembali baterai ketaatannya dengan iktikaf.

Dalam riwayat al-Bukhâry, Sahabat Abû Hurairah r.a. pernah mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah selalu melaksanakan iktikaf setiap bulan Ramadan selama sepuluh hari. Adapun di tahun saat Rasulullah akan meninggal dunia, beliau melaksanakan iktikaf selama dua puluh hari lamanya.”

Berhenti sejenak dan mengasingkan diri dengan iktikaf justru menjadi penyempurna dari seluruh rangkaian ibadah yang kita lakukan selama bulan Ramadan. Imam Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah yang menegaskan makna ini dalam bukunya Zâd Al-Ma’âd, “Di satu sisi, kemurnian dan keistiqamahan hati manusia dalam berhubungan dengan Allah membutuhkan totalitas. Sementara di sisi lain, makan dan minum yang berlebihan, bergaul melebihi batas, keasyikan ngobrol, tidur yang kebablasan, membuat hati kita galau. Dan memutus hubungan dengan Allah. Atau minimal bisa menghambat, melemahkan, dan menghentikan hubungan hati dengan Sang Pemilik Hati. Maka Allah mensyariatkan puasa untuk membersihkan kelebihan makanan dan minuman yang mempengaruhi hubungan tersebut,” kata Ibnu al-Qayyim.

Ibnu al-Qayyim menambahkan, “Allah juga mensyariatkan iktikaf  agar hati manusia selalu berotasi dengan Allah. Tidak berhubungan dengan yang lain. Manusia hanya menjadikan Allah sebagai teman dan bukan makhluk lain. Sebab di alam kubur, manusia hanya mengharapkan Allah sebagai temannya dan bukan manusia”.

“Inilah makna iktikaf yang sebenarnya. Karena makna ini baru bisa sempurna terejawantahkan dengan puasa, maka disunahkanlah iktikaf di hari-hari terbaik puasa. Yaitu di sepertiga terakhir bulan Ramadan,” tegas Ibnu al-Qayyim menutup penjelasannya tentang keutamaan iktikaf.

Iktikaf menjadi pelengkap totalitas hadiah puasa yang kita berikan kepada Allah Swt. di bulan Ramadan. Karena puasa dalam hadis qudsi hanya dihadiahkan untuk Allah Swt., maka tidak sepantasnya bila hadiah itu hanya karena kita menahan lapar, dahaga, dan syahwat saja. Sedangkan waktu kita masih terbuang untuk dunia, istirahat kita masih cukup, dan HP kita masih asyik berkomunikasi.

Tidak. Hadiah itu harus utuh. Lapar, dahaga, dan menahan syahwat, juga harus diiringi dengan mengasingkan diri dari dunia. Fokus mengisi waktu dengan beribadah. Hanya asyik berkomunikasi dengan Allah Swt..

Inilah salah satu sebab Rasulullah saw. tidak pernah meninggalkan iktikaf. Para istri Rasulullah saw., seperti yang disampaikan oleh ‘Âisyah r.a. juga melaksanakan iktikaf. Generasi salaf juga menunaikannya.

Sehingga mereka heran bila sunah iktikaf di bulan Ramadan tidak menjadi prioritas di sepuluh terakhir. Seperti komentar Imam az-Zuhri ketika tentang keutamaan iktikaf,  “Saya heran melihat kecenderungan sebagian manusia yang tidak melaksanakan iktikaf. Padahal Rasulullah terkadang melaksanakan sesuatu dan meninggalkannya. Sementara iktikaf tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw. sampai meninggal dunia.”

Memasuki sepuluh terakhir Ramadan, mari kita berhenti sejenak dari hiruk-pikuk kehidupan. Saatnya kita lari dari dunia, dan menghambur kepada Allah Swt.. Ayo kembali me-recharge baterai jiwa kita dengan iktikaf. Saatnya kita menutup semua pintu makhluk untuk membuka selebar-lebarnya pintu Sang Khalik.

Memang rasanya tidak lengkap bila hanya mengibadahkan jasad sejenak dalam rangka meraih predikat takwa. Rasanya belum cukup bila hanya menahan lapar, dahaga, dan syahwat untuk mendapatkan kunci pintu Ar-Royyan di akhirat. Kita juga harus mengistirahatkan akal dari materi. Lalu memfokuskan rohani hanya kepada sang Ilahi. Berlari menuju Allah Swt. dengan segenap raga dan hati. Agar Allah Swt. memberikan ampunan-Nya yang tak bertepi. Menganugerahkan seribu bulan-Nya yang kita cari. (***)

Comments
Loading...
error: Content is protected !!