Serangan Israel terhadap Kapal Madeline Dinilai Langgar Hukum Internasional
JAKARTA, OKENESIA.COM- Serangan angkatan laut Israel terhadap kapal bantuan kemanusiaan Madeline yang terjadi di laut lepas memicu kecaman luas dari berbagai kalangan.
Dalam analisis mendalam yang diterbitkan Senin (8/5/2025), Wasim Al-Shanṭi, seorang peneliti hukum internasional yang berbasis di Aljazair, menyebut serangan tersebut sebagai pelanggaran berat terhadap berbagai instrumen hukum internasional yang berlaku dalam konflik bersenjata dan hukum laut.
Insiden terjadi sekitar 72 mil laut (sekitar 133 km) dari garis pantai, yang secara hukum merupakan wilayah laut lepas dan bukan di bawah yurisdiksi negara mana pun.
Kapal Madeline, yang mengibarkan bendera negara netral dan membawa bantuan kemanusiaan untuk penduduk sipil di Gaza, dihentikan secara paksa, dan para penumpangnya mengalami kekerasan fisik serta penahanan tanpa dasar hukum.
Dalam laporannya, Al-Shanṭi menegaskan bahwa tindakan Israel melanggar Manual San Remo 1994, khususnya Pasal 41, 42, dan 47, yang melarang serangan terhadap kapal sipil dan memberikan perlindungan khusus bagi kapal misi kemanusiaan.
Srangan ini juga bertentangan dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982), terutama prinsip kebebasan navigasi di laut lepas dan hak eksklusif negara bendera atas yurisdiksi kapal mereka. “Hanya negara bendera yang berwenang melakukan penahanan atau pemeriksaan,” ujar Al-Shanṭi, merujuk pada Pasal 92 dan 97 UNCLOS.
Menurut hukum laut, kapal perang hanya dapat memeriksa kapal asing di laut lepas jika terdapat dugaan pembajakan, perdagangan budak, atau pelanggaran komunikasi ilegal (Pasal 110 UNCLOS). “Tidak satu pun dari pengecualian ini berlaku dalam kasus Madeline,” tegas Al-Shanṭi.
Tindakan Israel dinilai melanggar Konvensi SOLAS 1988 mengenai keselamatan pelayaran, serta Konvensi Jenewa IV dan Protokol Tambahan 1977 yang menjamin akses bantuan kemanusiaan ke wilayah pendudukan.
Al-Shanṭi menambahkan, upaya Israel mencegah distribusi makanan dan obat-obatan ke Gaza juga berpotensi memenuhi unsur genosida, sebagaimana diatur dalam Konvensi Genosida 1948 dan Statuta Roma 1998.
Dengan menggunakan kekuatan bersenjata terhadap kapal berbendera asing di luar wilayah yurisdiksinya, Israel juga dianggap telah melakukan tindakan agresi yang melanggar prinsip kedaulatan negara bendera dan stabilitas hukum laut internasional.
Dalam kesimpulannya, Al-Shanṭi menyerukan kepada komunitas internasional, termasuk PBB, Mahkamah Pidana Internasional (ICC), dan Dewan HAM PBB, untuk segera melakukan investigasi menyeluruh. “Tindakan ini bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga ancaman serius terhadap tatanan hukum internasional yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan prinsip kemanusiaan,” pungkasnya. (top/*)