OLEH: RAHMAYANI
(Aktivis Muslimah)
PPATK mencatat pemain judi online (judol) di Indonesia sebanyak empat juta orang. Mereka tidak hanya berasal dari kalangan usia dewasa, tetapi juga anak-anak.
Dalam kurun waktu 2017-2023, jumlah anak yang terpapar judol meningkat hingga 300 persen.
Menurut data demografi, pemain judol yang berusia di bawah 10 tahun mencapai 2 persen dari pemain, dengan jumlah 80.000 orang. Sebaran pemain usia 10-20 tahun sebanyak 11 perseb atau kurang lebih 440.000 orang.
Menanggapi fenomena ini, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas) memperkuat langkah pemberantasan judol yang menyasar anak-anak.
Aturan ini mewajibkan penyelenggara sistem elektronik (PSE) membatasi akses digital anak, melindungi data pribadi, serta ikut meningkatkan literasi digital.
Di sisi lain, pemerintah juga mengimbau orang tua untuk aktif mengedukasi anak tentang bahaya judol, mendampingi aktivitas digital mereka, dan segera berkonsultasi ke psikolog atau KPAI jika menemukan tanda-tanda kecanduan.
Namun, apakah respon pemerintah kali ini menyentuh akar masalah sehingga fenomena ini dapat terselesaikan?
Menelisik akar masalah
Fenomena judol yang menyasar anak-anak sebenarnya bukan sekadar dampak perkembangan teknologi. Melainkan, salah satu konsekuensi diterapkannya sistem kapitalisme yang berfokus pada keuntungan materi. Sehingga, apapun yang mampu menghasilkan keuntungan, tentu akan dimanfaatkan, termasuk memanfaatkan perkembangan teknologi.
Walhasil, pelaku industri judol berlomba-lomba merancang platform/aplikasi yang mirip dengan game dan membuatnya semenarik mungkin agar anak-anak kecanduan.
Impian pelaku industri judol ini semakin dipermulus dengan adanya regulasi yang lemah dan aparat yang seolah-olah tak tahu apa-apa setelah dibungkam dengan aliran dana.
Meski pemerintah sudah berupaya memblokir situs-situs judol, tetap saja pemberantasannya belum efektif. Sebab, penindakan hukum atas pembuat situs dan pelaku judol masih terbilang minim. Buktinya, mereka yang terlibat judol belum sepenuhnya mendapat sanksi yang membuat jera.
Data kuartal I-2025, yang dikumpulkan oleh PPATK menunjukkan jumlah deposit yang dilakukan oleh pemain berusia 10-16 tahun lebih dari Rp2,2 miliar. Usia 17-19 tahun mencapai Rp47,9 miliar dan deposit yang tertinggi usia antara 31-40 Tahun mencapai Rp2,5 triliun.
Dengan jumlah pelaku judol yang sebanyak itu, berapa persen pembuat situs dan pelaku yang mampu pemerintah tindak tegas?
Di sisi lain, sistem kapitalisme juga telah memandulkan peran orang tua untuk mengedukasi dan mendampingi anak. Sebab, sistem ini membuat segala sesuatu serba mahal. Sehingga, baik ayah maupun ibu disibukkan bekerja.
Oleh karenanya, memberantas judol secara tuntas tidak mungkin bisa dilakukan jika sistem kapitalisme masih diterapkan.
Sistem ini juga menjadikan akal manusia sebagai penentu nilai perbuatan, tidak berdasarkan halal haram, melainkan berdasarkan manfaat. Selama ada manfaat dan materi yang diraih, perbuatan apapun bisa dilakukan, meski terkategori perbuatan maksiat dan haram, seperti judol. Maka dari itu, perlu pencegahan dan penindakan secara sistemis dari negara dengan melakukan perubahan sistem, bukan hanya pembatasan akses digital dan imbauan kepada orang tua.
Penerapan Sistem yang Tepat
Islam telah menerangkan bahwa perjudian, apapun bentuknya, adalah haram.
Dengan berbekal landasan ini, negara dalam sistem Islam tidak akan menoleransi segala kegiatan yang berbau judi.
Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al-Maidah: 90).
Maka, tentu saja, fenomena judol ini bisa diberantas secara tuntas dengan menerapkan aturan/sistem Islam secara menyeluruh oleh negara (Khilafah). Dalam Islam, kehidupan hanyalah bekal untuk amal akhirat.
Standar perbuatan seorang muslim terikat dengan aturan Allah Taala. Ketakwaan dibangun secara komunal, bukan sekadar individual. Negara menerapkan aturan Islam secara menyeluruh, baik pada aspek politik, ekonomi, pendidikan, sosial, dan sebagainya.
Oleh karenanya, secara komprehensif negara akan menerapkan mekanisme berikut dalam memberantas secara tuntas aktivitas perjudian.
Pertama, menerapkan sistem pendidikan Islam berbasis aqidah Islam yang akan membentuk pola pikir dan pola sikap pelajar sesuai arahan Islam. Pelajar akan memiliki standar perbuatan berdasarkan Islam. Bukan hanya kesenangan materi, tetapi mereka akan memilih aktivitas yang Allah ridhai.
Kedua, menutup setiap akses judol bagi seluruh masyarakat. Negara juga akan melarang konten-konten yang memuat keharaman atau yang tidak mengedukasi masyarakat untuk taat.
Ketiga, pembiasaan amar ma’ruf nahi munkar dalam kehidupan masyarakat, sehingga mereka tidak akan menoleransi perilaku maksiat di sekitarnya. Hal ini akan turut mendukung suasana keimanan di tengah masyarakat.
Keempat, menjamin pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dengan tiga kemudahan, yakni mudah dalam harga, mudah mencari nafkah, dan mudah mengaksesnya. Dengan demikian, tidak ada lagi orang tua yang hanya tersibukkan bekerja dan lalai mengedukasi anaknya. Sistem ekonomi Islam menjadi solusi mendasar agar negara dapat melaksanakan perannya sebagai pelayan dan pengurus urusan rakyat, termasuk jaminan kebutuhan dasar rakyat.
Kelima, Khilafah menerapkan sistem sanksi bagi para pelaku judi, yang bersifat zawajir (mencegah) dan jawabir (penebus dosa). Sanksi tindak pidana perjudian dalam Islam adalah takzir, yakni hukuman atas tindak pidana yang sanksinya sepenuhnya ditentukan berdasarkan ijtihad khalifah.
Wallahualam bissawab