Refleksi Haji & Persatuan Umat

0

OLEH: NISWATUL MUKMINAH

(Aktivis Muslimah)

Pemerintah Arab Saudi menetapkan Hari Raya Idul Adha jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025. Sementara itu, puncak pelaksanaan ibadah haji, yakni wukuf di Arafah, berlangsung sehari sebelumnya, diikuti oleh 1,83 juta jamaah dari berbagai penjuru dunia, termasuk 221.000 jamaah asal Indonesia.

Namun, semangat global ini tidak sepenuhnya mencerminkan kesatuan umat di tingkat regional. Di Asia Tenggara, misalnya, penetapan Idul Adha kembali berbeda. Indonesia merayakannya pada 6 Juni, sementara Malaysia menetapkannya sehari kemudian, yakni 7 Juni 2025. Padahal, sejak 1988, MABIMS (Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) dibentuk dengan harapan menyatukan penanggalan hijriah dan memperkuat solidaritas keislaman lintas negara.

Haji bukan sekadar momentum ibadah spiritual

Setiap tahun, jutaan Muslim dari berbagai bangsa berkumpul di Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Mereka datang dari beragam latar belakang budaya, bahasa, dan warna kulit. Namun semua perbedaan itu larut dalam kesatuan niat, pakaian ihram, arah kiblat, dan tujuan: mengabdi kepada Allah. Momen ini menjadi gambaran ideal tentang bagaimana umat Islam seharusnya bersatu, bukan karena kesamaan etnis atau budaya, melainkan karena ikatan aqidah (keyakinan) yang menghapus sekat-sekat duniawi.

Sayangnya, semangat persatuan itu seringkali hanya terasa sebatas momentum ibadah. Setelah Idul Adha berlalu, umat kembali pada sekat-sekat lama: identitas bangsa, organisasi, hingga mazhab. Padahal, umat Islam di seluruh dunia saat ini berjumlah hampir dua miliar jiwa, dengan sumber daya alam yang melimpah dan wilayah strategis yang luas. Jika benar-benar bersatu, umat ini dapat menjadi kekuatan dunia yang dihormati. Namun potensi besar itu tak kunjung terwujud, karena umat masih terpecah dalam batas-batas buatan yang diwariskan sejarah dan dipelihara oleh sistem yang menomorsatukan kepentingan nasional di atas kepentingan bersama.

Lebih menyedihkan lagi, perpecahan itu tidak sekadar administratif, tapi kerap melahirkan ketegangan, bahkan konflik. Sementara itu, penderitaan saudara seiman di Palestina, Suriah, dan berbagai wilayah lainnya terus berlangsung, seringkali tanpa respons nyata dari dunia Islam yang lebih luas. Solidaritas yang seharusnya menjadi kekuatan, justru terkikis oleh kepentingan yang saling bertabrakan.

Perbedaan yang memecahkan

Fenomena ini bukan sekadar soal perbedaan tanggal dalam kalender, tetapi cerminan problematika yang lebih dalam dalam tubuh umat Islam hari ini, yaitu lemahnya kesadaran kolektif terhadap makna persatuan. Ibadah haji, yang dalam esensinya adalah perayaan global persaudaraan Islam, justru menyisakan ironi ketika umat yang berkiblat ke arah yang sama tak mampu menyatukan satu suara dalam perkara yang semestinya bisa disepakati bersama.

Pertanyaan yang patut diajukan adalah:
mengapa penyatuan kalender hijriah yang telah lama diperjuangkan, bahkan difasilitasi oleh forum regional seperti MABIMS sejak 1988, belum juga membuahkan hasil yang nyata?
Jawabannya terletak pada tiga aspek utama: metodologi, politik identitas, dan minimnya komitmen transnasional.

Pertama, soal metodologi.
Perbedaan antara rukyat (pengamatan hilal) dan hisab (perhitungan astronomi) memang telah menjadi perdebatan klasik dalam fiqh. Namun, ketika ilmu pengetahuan telah memungkinkan akurasi perhitungan bulan hingga hitungan detik, tetap bersikukuh pada metode lokal tanpa keterbukaan terhadap pendekatan integratif hanya akan memelihara jurang perbedaan.

Kedua, soal politik identitas.
Tak bisa dimungkiri bahwa sebagian negara menjadikan keputusan keagamaan, termasuk penetapan hari raya, sebagai simbol kedaulatan nasional. Maka, yang mestinya menjadi urusan umat, tereduksi menjadi simbol kepentingan negara. Padahal, Islam datang bukan untuk membelah umat berdasarkan batas-batas geopolitik, melainkan menyatukannya dalam satu barisan tauhid.

Ketiga, minimnya komitmen kolektif.
MABIMS, meskipun secara struktural telah lama berdiri, faktanya belum memiliki kekuatan mengikat yang membuat keputusan bersama bisa dijalankan serentak. Tidak adanya lembaga otoritatif lintas negara yang disepakati bersama dalam urusan penanggalan Islam menjadikan upaya integrasi ini selalu bersifat himbauan, bukan kesepakatan.

Karenanya, momen Idul Adha dan ibadah haji semestinya tidak hanya dijadikan sebagai ajang ritual tahunan, tetapi juga refleksi besar umat Islam atas kondisi internal mereka. Sebab, apa artinya jutaan umat thawaf mengelilingi satu kiblat jika dalam kehidupan sehari-hari umat berjalan ke arah yang berbeda-beda, bahkan saling menjauh?

Memaknai Idul Adha

Maka, pertanyaan mendasarnya adalah: _bagaimana mungkin umat yang satu aqidah ini terus hidup dalam kondisi terpecah?_
Jawabannya jelas:
Karena tidak ada institusi pemersatu yang menaungi dan memimpin mereka.

Dalam sejarah Islam, hanya Khilafah-lah institusi yang mampu mewujudkan persatuan sejati umat Islam. Bukan dalam bentuk seremonial atau forum simbolik, tetapi dalam struktur politik yang nyata, yang menyatukan umat dalam satu kepemimpinan dan tujuan. Tanpa institusi ini, persatuan umat hanya akan jadi retorika indah yang berulang setiap musim haji, lalu dilupakan begitu hari-hari tasyrik berlalu.

Momentum Idul Adha seharusnya tidak hanya membangkitkan semangat berkurban, tetapi juga kesadaran untuk taat total kepada Allah dalam seluruh aspek kehidupan. Ibrahim a.s., tidak hanya tunduk secara ritual, tetapi juga menyerahkan seluruh hidupnya kepada perintah Allah, bahkan ketika harus mengorbankan anaknya.

Umat Islam hari ini pun harus kembali memahami makna ketaatan yang utuh, yang tidak berhenti di masjid dan mihrab, tetapi juga hadir dalam sistem hukum, pemerintahan, ekonomi, dan sosial. Karena Islam bukan hanya agama pribadi, melainkan pedoman hidup yang sempurna dan menyeluruh (kaffah).

Sudah saatnya umat Islam berhenti puas dengan simbol-simbol persatuan yang bersifat sesaat dan seremonial. Persatuan yang hakiki tidak cukup hanya diwujudkan dalam momen tahunan seperti haji atau Idul Adha, tetapi harus dibangun di atas fondasi sistemik yang kokoh, yaitu penerapan syariat Islam secara menyeluruh di bawah institusi pemersatu umat.

Ummat bisa bersatu

Umat ini memiliki sejarah gemilang ketika dipimpin oleh satu kepemimpinan Islam yang menaungi berbagai bangsa dalam satu kesatuan politik dan spiritual: Khilafah Islamiyah.

Sejarah itu bukan sekadar nostalgia, tetapi arah yang semestinya dituju kembali oleh umat yang mendambakan kemuliaan dan pertolongan Allah. Allah berjanji dalam Al-Qur’an bahwa umat yang beriman dan beramal saleh akan diberikan kekuasaan di muka bumi sebagaimana yang telah diberikan kepada umat-umat sebelumnya (QS. An-Nur: 55). Tapi janji itu memiliki syarat: taat sepenuhnya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Idul Adha adalah momen refleksi dan pengorbanan. Mari kita jadikan pengorbanan kita bukan hanya berupa hewan ternak, tetapi juga ego, fanatisme golongan, dan nasionalisme sempit yang memecah belah umat. Mari kembali pada panggilan persatuan hakiki dalam naungan syariat Islam dan kepemimpinan global yang diridhai Allah.

Inilah saatnya umat bangkit, bukan sekadar merayakan, tetapi memperjuangkan kembali izzah (kemuliaan) Islam yang sejati.

Wallahu a’lam bishawab

Comments
Loading...
error: Content is protected !!