JAKARTA, OKENESIA.COM– Rencana perdamaian yang diumumkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menuai kritik keras.
Sejumlah pihak menilai rencana tersebut hanyalah kedok konspirasi pendudukan Israel yang dibungkus dengan slogan-slogan indah.
Netanyahu disebut menulis ulang rencana itu sesuai dengan ambisi politiknya, di antaranya:
Pertama, mengaitkan penarikan diri dari Gaza dengan pelucutan senjata kelompok perlawanan.
Kedua, memberikan Tel Aviv hak veto atas setiap keputusan.
Ketiga, menjamin pasukan pendudukan Israel tetap berada di Jalur Gaza tanpa batas waktu.
Menurut pengamat, hal-hal yang gagal dicapai Israel dan Amerika Serikat lewat perang dan genosida selama dua tahun terakhir kini coba dipaksakan melalui tekanan politik dari sejumlah negara Arab dan Islam terhadap Gaza serta kelompok perlawanan.
Rencana yang disebut “kesepakatan Arab–Amerika–Israel” itu dianggap cacat sejak awal. Janji-janji penghentian kekerasan, bantuan kemanusiaan, dan jalan menuju negara Palestina, dinilai tidak sejalan dengan realitas di lapangan yang justru menguntungkan pendudukan Israel untuk terus berkuasa.
Kritik juga diarahkan kepada pemerintah-pemerintah Arab dan Islam yang dinilai terjebak dalam tekanan politik. “Yang dibutuhkan adalah sikap tegas: berdiri bersama rakyat Palestina, bukan bersama agresor yang telah melakukan genosida dan pembantaian, yang seharusnya dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional,” ujar salah satu tokoh politik Timur Tengah.
Seruan pun muncul agar negara-negara Arab dan Islam memperbaiki posisinya serta berdiri dalam satu barisan bersama rakyat Palestina yang menolak penyerahan diri kepada penjajah, sekaligus menghargai pengorbanan besar yang telah diberikan selama dua tahun penuh penderitaan, pembunuhan, dan pengusiran. (top/*)