Letusan Gunung Merapi yang terletak di tengah Pulau Jawa, statusnya hingga kini masih aktif. Tahun 2010, Gunung Merapi meletus. Abu vulkanik yang menghampiri rumah-rumah penduduk, tepat pukul 12.15 WIB, menyebabkan 439 nyawa melayang. Termasuk rumah Mbah Marijan Juru Kunci Merapi di Desa Kinarejo, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang terkenal dengan ungkapan ‘roso’, ikut terenggut nyawanya dalam kondisi bersujud.
OLEH: SUTOPO ENTEDING, SLEMAN-YOGYAKARTA
Langit Kabupaten Sleman, DIY, Selasa (2/12/2025) cukup cerah. Tak ada awan menggelantung di langit. Meskipun terik mentari cukup menyengat, tak menyurutkan semangat puluhan pewarta asal Kabupaten Banggai yang mengikuti Tour Merapi agenda SKK Migas-JOB Tomori bersama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Banggai di edukasi media dan kolaborasi bertema “Memperkuat Profesionalisme Media Lokal di Era Digital untuk Informasi Publik yang Kredibel dan Beretika”.

Untuk menuju Destinasi Wisata Merapi, para pewarta diangkut dengan mobil Jeep. Dari situ, sopir mobil Jeep menjadi pelaku guide, yang senantiasa menjelaskan sekaligus menjawab pertanyaan pewarta seputar insiden meletusnya Gunung Merapi yang berada di ketinggian 2.930 mdpl (per 2010).
Gunung berapi di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia.
Lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara. Kawasan hutan di sekitar puncaknya menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi sejak tahun 2004 (Wikipedia).
Ada dua lokasi destinasi bersejarah, yakni Bungker Kaliadem, Desa Kinarejo, Hargobinangun, Sleman, DIY dan Museum Mini ‘Sisa Hartaku’ di Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
Bunker Kaliadem adalah destinasi wisata sejarah dan geowisata yang terletak di lereng Gunung Merapi, Yogyakarta.
Tempat ini menjadi saksi bisu tragedi erupsi Merapi pada tahun 2006 dan 2010 dan kini menawarkan pemandangan alam yang megah serta wawasan edukasi tentang aktivitas vulkanik.
Berdasarkan penuturan guide lokal, Bungker Kaliadem dibangun medio 2000 an oleh pemerintah setempat. Bungker berukuran sekitar 12×8 meter dengan tinggi sekitar 7 meter dijadikan sebagai tempat warga untuk berlindung dari semburan debu abu vulkanik.
Selain tempat berlindung, di dalamnya terdapat satu water close (WC). Di situ pula dijadikan sebagai tempat penyimpanan perbekalan seadanya untuk dua hingga tiga hari. Bungker ini menampung sekira 40 warga.
Dari cerita Putra (23 tahun), salah satu sopir Jeep menceritakan bahwa saat letusan Gunung Merapi pada tahun 2010, ada yang meninggal di Bungker Kaliadem. Korban itu meninggal di dalam WC mini. Putra tak menjelaskan penyebab kematian salah satu warga.
Kini, Bungker Kaliadem tak bisa lagi ditutup rapat pintunya akibat dihantam semburan abu vulkanik. Padahal sebelumnya, pintu bungker yang terbuat dari baja itu bisa ditutup seperti biasanya.
Meskipun tak ada lagi yang bermukim karena sudah direlokasi di tempat lain, kawasan ini masih terdapat aktivitas kehidupan. Ya, hanya sebatas para pedagang yang menjajakan dagangannya untuk kebutuhan para pengunjung.
Malah, ada yang menyediakan ulekan cabai dari batu hasil semburan Gunung Merapi.
Di desa ini, menjadi sasaran aliran abu vulkanik dan lahar panas. Aktivitas ekonomi terlihat, semisal tak jauh dari situ, terdapat areal cukup curam, di bawahnya terdapat aliran sungai. Namun sungai itu tak lagi mengalirkan air setelah abu vulkanik menyembur tahun 2010.
Areal yang menjadi aliran abu vulkanik dimanfaatkan warga untuk ditambang. Saat melewati areal itu, puluhan truk berseliweran mengangkut material. Beberapa alat berat saat ini masih terlihat mengeruk materialnya.
Hampir setiap harinya, pengunjung tak berhenti berdatangan. Bungker Kaliadem salah satu lokasi yang wajib dikunjungi ketika Trip Tour Merapi.
Lokasi kedua yang wajib dikunjungi adalah Museum Mini bertajuk ‘Sisa Hartaku’ terletak di Cangkringan, Sleman. Rumah berukuran luas milik Sriyanto kini masih dapat dilihat puing-puing keganasan Gunung Merapi.
Museum mini ini menyimpan koleksi sisa-sisa harta benda yang hancur akibat awan panas dan lahar pada letusan tahun 2010.
Kerangka motor, perabotan rumah tangga, kerangka sapi meleleh. Di di situ terdapat sebuah jam dinding yang menunjukkan tepat pukul 12.15, saat Gunung Merapi meletus menjadi saksi bisu, di mana jam tersebut menunjukkan waktu tepat saat bencana terjadi
Dari sekian banyak kerangka, ada yang mengagumkan. Di dalam sebuah almari, terdapat tiga buku, yakni sebuah mushaf Alquran, buku Yasin tak hancur. Bahkan, tak ada lembaran kitab suci Alquran yang terbakar, masih utuh.
Guide yang mendampingi rombongan tour SKK Migas-JOB Tomori kolaborasi PWI Banggai Bersaudara menjelaskan detail.
Di rumah museum mini, sederet foto ditampilkan. Mulai dari percakapan Mbah Marijan dengan putranya Mas Lurah Suraksoasihono yang mengajak ayah tercintanya untuk mengungsi saat mulai semburan abu vulkanik hingga foto-foto prosesi penguburan 439 mayat korban semburan abu vulkanik. Ada pula foto sebelum kejadian dan setelah kejadian.

Museum ini kata guide, berfungsi sebagai pengingat akan dahsyatnya letusan Merapi 2010 dan juga sebagai simbol perjuangan serta kebangkitan masyarakat setempat.
Foto-foto penguburan massal sebut guide, tak ada penulisan nama. Sebab, wajah para korban tak dikenali, hangus terbakar. Jadilah, makam hanya tertulis ‘MR X’.
Meskipun museum ini berfungsi sebagai saksi bisu kisah pilu dan menjadi salah satu lokasi wajib dikunjungi, tapi pengunjung tak diwajibkan untuk membayar tiket untuk biaya masuk. Namun, di tengah bangunan yang hancur itu terdapat sebuah kotak berukuran kecil bertuliskan ‘kotak dana sukarela’. Pengunjung dapat memasukkan berapa pun seikhlasnya di kotak itu.
Masih berdasarkan keterangan guide lokal bahwa jumlah korban warga sekitar lereng Gunung Merapi berjumlah 439 orang. Tiga puluh sembilan warga meninggal di desa Mbah Marijan (termasuk Mbah Marijan) dan ratusan lainnya warga di sekitar lereng gunung.
“Kebanyakan yang meninggal itu orang tua anak-anak. Mungkin mereka tidak cukup kuat untuk melarikan diri,” ujar guide tersebut.
Warga desa yang menjadi sasaran semburan lahar sebelumnya merupakan petani dan paling umum adalah peternak sapi perah.
Kini, beberapa desa itu tak lagi ditempati. Arealnya menjadi sangat subur. Namun, meskipun sudah direlokasi, ada beberapa saja yang kini kembali membangun rumah di areal lahannya semula.
Puing-puing rumah penduduk masih berdiri diselimuti rerumputan.
Ekonomi mereka kembali bergerak. Warga sekitar lereng gunung yang tak ‘kebagian’ lahar panas memanfaatkannya sebagai sumber pundi-pundi pendapatan.
Mereka menjadi guide lokal, menyediakan pemotretan langsung cetak bagi para pengunjung setelah usai ber-adventure. Satu foto dibanderol Rp20 ribu, 3 foto cukup bayar Rp50 ribu. Untuk membeli file foto harus merogoh kocek lebih dalam seharga Rp209 ribu, tapi keuntungannya seluruh foto bisa dicetak kembali.
Penyewaan kendaraan jenis Jeep dan Hardtop cukup banyak. Pengunjung wajib menyewa mobil Jeep dan Hardtop, sebab areal lintasannya selain menanjak, juga cukup ekstrem.
Putra, salah satu sopir yang kami tumpangi menyebut bahwa setiap penyewaan satu mobil itu dibanderol seharga Rp300 ribu. Sehari? Tidak, paling lama hanya dalam kurun waktu dua jam saja.
Putra mengisahkan bahwa dirinya bisa mendapatkan jasa penyewaan kendaraan dalam sebulan, bisa 10 hingga 15 kali. Pendapatannya berada di kisaran Rp2 hingga Rp3 juta, bahkan bisa lebih dari itu.
Anda tertarik mengunjungi lereng Gunung Merapi di Sleman? Nikmati alamnya sekaligus menyelami kisah pilu korban keganasan semburan lahar panas!
Tabe’
Ditulis Rabu pagi, 3 Desember 2025