Kehidupan dunia adalah media terbuka untuk mencari bekal akhirat. Allah Swt. sengaja menciptakan dunia untuk menguji hamba-hambaNya, siapakah nanti yang berhak untuk mendapatkan kebahagiaan hakiki? Dan sebaliknya, mana yang pantas sengsara dan mendapatkan siksa yang abadi?
Memahami kesejatian dunia, sudah cukup bagi kita untuk selalu siap menghadapi kenyataan hidup. Tegar menghadapi realita pahit. Sabar menghadapi ujian, sehebat apapun bentuknya.
Karena dunia adalah partikel dan bukan inti. Sarana dan bukan tujuan. Ibarat seorang yang hanya menyeberang untuk menuju akhir perjalanan. Atau keterasingan sementara untuk menjadi pribumi abadi di akhirat.
Dalam surat al-Hadîd ayat 20, Allah Swt. menyindir dunia, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaanNya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”
Saat kita menyeberangi dunia lantas mendapat ujian, maka ia ibarat pil pahit yang kita minum. Hanya sementara rasanya di lidah. Namun menjadi manis bagi seluruh tubuh. Sakit menjadi hilang, jasad kembali sehat dan siap untuk beraktivitas lebih lama.
Oleh karena itu, ketika Allah Swt. menghendaki kebaikan dalam diri seseorang. Ingin menyehatkan kembali kesadarannya sebagai hamba. Ingin meluruskan kehidupannya yang telah melenceng dari shirât al-mustaqîm, Allah Swt. akan memberi ujian kepadanya.
Dalam hadist riwayat Imam Tirmidzi, Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahala sebanding dengan besarnya ujian. Dan sesungguhnya Allah bila mencintai sebuah kaum, maka Ia akan menguji mereka. Barangsiapa yang ridha (dengan ujian) maka baginya keridhaan (Allah). Dan barangsiapa yang murka, maka baginya pula kemurkaan (Allah).”
Allah Swt. ketika memberikan ujian kepada seseorang, Ia juga Maha Tahu batas ketahanan hambaNya terhadap ujian. Maka Allah tidak akan pernah memberikan ujian kepada seseorang melebihi batas kemampuannya. Allah Swt. berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 287, “Allah tidak akan membebani seseorang kecuali berdasarkan kemampuannya untuk menanggung beban tersebut.”
Allah Swt. pernah menguji tingkat kedermawanan Ibu Jakfar bin Abu Thalib terkait ayat ini. Dalam tafsir al-Qurthuby disebutkan cerita mengenai Abu Hurairah ra.. Kata Abu Hurairah ra., “Sesungguhnya aku tidak ingin dilahirkan oleh seorang ibu, kecuali ibunya Jakfar bin Abu Thalib. Suatu saat dalam kondisi lapar aku mengikutinya sampai ke rumah. Sampai di rumah ia kemudian menoleh ke belakang dan melihatku berdiri. Ia lantas memintaku masuk ke dalam rumah. Ketika ia mengecek makanan yang ada, hanya tersedia sisa mentega kering dan pahit di sebuah bejana kulit. Ia lalu merobek bejana kulit itu dan memberikan potongannya padaku untuk dijilati, sambil berkata, “Sesungguhnya Allah tidak membebani seseorang berdasarkan kemampuannya, dan seseorang tidak berinfak, kecuali yang dimilikinya.”
Maka ketika ujian datang, kita harus yakin mampu menjalaninya dengan baik. Karena ujian pasti sesuai dengan kapasitas dan daya tahan. Tidak akan melebihi batas di luar kemampuan manusia. Tidak akan mungkin ujian diberikan melebihi kemampuan seseorang menjalaninya. Bila kalah dan akhirnya tumbang dengan ujian, sebenarnya kitalah yang belum mengeluarkan kemampuan maksimal. Belum berusaha seoptimal mungkin, dengan potensi yang ada.
Ujian juga salah satu cara Allah Swt. untuk membersihkan dosa dan kesalahan kita sebagai manusia. Selain sebagai media untuk meningkatkan pahala. Bila ujian diberikan, maka sebenarnya Allah sedang memanggil kita untuk dibersihkan dan disucikan kembali.
Manusia perlu diingatkan dengan ujian. Karena sarana lain yang telah disediakan Allah Swt. untuk menggugurkan dosa tidak kita manfaatkan. Dalam hadis riwayat Imam Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah ra., Rasulullah Saw. bersabda, “Ujian akan selalu menimpa seorang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, baik yang menimpa dirinya, anaknya dan hartanya. Sampai ia akan bertemu Allah nantinya dalam keadaan tidak memiliki satu kesalahanpun”.
Ketika ujian datang juga harus disambut dengan bahagia. Sebab ujian juga bentuk dari kecintaan Allah kepada hambaNya. Mungkin terkesan aneh. Kenapa wujud cinta harus dengan ujian. Tapi, begitulah cara Allah Swt. mencintai hamba-hambaNya yang dipilih. Allah Swt. menguji kita, untuk menakar apakah cinta yang telah diberikan mendapatkan timbal balik. Atau bertepuk sebelah tangan.
Inilah yang dipahami oleh Nabi Ayyub as.. Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa Nabi Ayyub as. sebelumnya adalah seorang kaya raya. Memiliki harta yang berlimpah. Punya lahan yang sangat luas. Dan peternak unggul. Ia memiliki semua jenis hewan ternak. Kemudian Allah Swt. cabut semua kenikmatan itu tanpa tersisa. Bukan hanya itu, Allah Swt. kemudian memberinya penyakit di seluruh badan. Sehingga anggota tubuh yang sehat dan selamat hanya hatinya yang dipakai untuk mengingat Allah dan lisannya yang dipakai untuk berzikir.
Waktu Allah Swt. menguji Nabi Ayyub as. juga cukup lama. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim dan Ibnu Majah disebutkan, “Sesungguhnya Nabi Ayyub as. berada dalam ujiannya selama delapan belas tahun. Baik keluarga dekat maupun yang jauh menolaknya kecuali dua orang laki-laki dari saudara-saudaranya. Keduanya yang selalu memberinya makan dan menemuinya.”
Karena kondisi badannya yang penuh sakit, Nabi Ayyub as. sampai dibuang di tempat sampah di ujung kota. Hanya istrinya yang tetap setia melayani. Karena harta habis tak tersisa, maka istrinya bekerja sebagai pembantu di rumah orang dan hasilnya dipakai untuk merawat dan memberi makan Nabi Ayyub as.. Selama 18 tahun jasadnya tersiksa karena sakit di seluruh badan, belum lagi hati yang pilu karena keluarga dan kerabat yang menjauh.
Tapi nabi Ayyub as. tetap sabar dan berprasangka baik kepada Allah Swt.. Tetap cinta dan tunduk hanya kepada-Nya. Tetap istiqamah dalam ketaatan. Tidak goyah, lemah, apalagi futur. Cinta yang Allah Swt. berikan dalam bentuk sakit, dibalas dengan zikir dan sabar. Sampai Allah Swt. kemudian berfirman dalam surat Shâd ayat 44, “Dan ambillah dengan tanganmu seikat (jerami), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan-nya).”
Allah kemudian memuji nabi Ayyub as. sebagai contoh kesabaran dan contoh ketaatan. Setelah melewati proses ujian selama 18 tahun, levelnya meningkat. Bukan hanya sekedar hamba yang taat. Tapi Allah Swt. mengabadikannya sebagai hamba yang sangat taat.
Saat ujian selesai, saat levelnya naik menjadi manusia yang memiliki ketaatan paripurna, Allah Swt. kemudian mengembalikan ulang semua yang dimilikinya sebelum sakit. Jasadnya sembuh total. Hartanya dikembalikan dalam jumlah yang lebih banyak. Melebihi jumlah sebelum ia sakit. Keluarga kembali mendekat. Teman dan kerabat kembali akrab. Ayyub as. bahagia dengan kelebihan materi dan non materi sampai ajal menjelang.
Bagi kita yang saat ini menghadapi ujian dalam kehidupan, juga harus optimis untuk melewatinya. Karena Allah Swt. sangat mengetahui kualitas kita. Dan Allah Swt. tidak akan pernah memberikan ujian melebihi kapasitas kita untuk menerimanya. Ujian hanya sarana untuk menaikkan level kemanusiaan kita. Sarana untuk membuat kedudukan kita lebih tinggi di hadapan mahluk, dan juga lebih mulia di hadapan Allah Swt, dengan syarat kita mampu melaluinya.
Setiap ujian, bila semua potensi sebagai manusia terberdayakan, diiringi dengan ikhtiar yang maksimal, sambil berprasangka baik kepada Allah Swt., diiringi dengan doa yang ikhlas dan hati yang penuh tawakkal, maka insya Allah kita akan mampu melewatinya. Dan saat melewatinya, kapasitas telah meningkat. Kita telah menjadi manusia di level yang lain. Berbeda dengan manusia pada umumnya. Level manusia seperti nabi Ayyub as..