JAKARTA, OKENESIA.COM- Yayasan Persahabatan dan Studi Peradaban (YPSP) kembali merilis pembaruan situasi darurat di Jalur Gaza yang hingga kini masih berada dalam cengkeraman agresi brutal Zionis Israel.
Dalam laporan terbarunya, Direktur YPSP, Dr. Ahed Abu Alatta, menyoroti kondisi kemanusiaan yang semakin memburuk, khususnya ancaman kesehatan yang mengintai anak-anak di tengah krisis berkepanjangan.
Kondisi pengungsian di Gaza kini menjadi ladang subur bagi penyebaran penyakit. Salah satu yang paling mengkhawatirkan adalah lonjakan kasus meningitis.
Buruknya sanitasi, minimnya ventilasi, serta kepadatan ekstrem di tenda-tenda pengungsian membuat anak-anak menjadi kelompok paling rentan.
Tim medis di lapangan memperingatkan bahwa Gaza berada di ambang wabah besar. Kelangkaan antibiotik dan peralatan medis dasar memperparah keadaan.
Rumah sakit utama seperti As-Syifa dilaporkan telah berhenti total akibat kehabisan bahan bakar. Lebih dari 35 fasilitas kesehatan telah hancur dibombardir sejak awal agresi.
“Tanpa obat-obatan, listrik, dan izin evakuasi medis, lebih dari 40.000 korban luka yang membutuhkan penanganan lanjutan di luar Gaza kini dibiarkan menderita hingga maut menjemput,” ungkap Dr. Abu Alatta.
Lebih dari 260.000 ton sampah menumpuk di pemukiman penduduk. Dalam cuaca panas musim panas, proses pembusukan mempercepat kontaminasi air tanah. Israel melarang pembuangan limbah ke luar wilayah, memperburuk risiko epidemi yang mengancam seluruh populasi.
Agresi Israel telah memasuki hari ke-634.
Taktik pengepungan total, pemutusan akses makanan dan air, serta penghancuran sistematis infrastruktur sipil, termasuk sekolah dan rumah ibadah, terus berlanjut.
“Tujuan mereka jelas: Gaza harus mati atau pergi. Dunia melihat, tapi diam,” tegas laporan YPSP.
Meski berbagai pihak internasional menyerukan penghentian perang, Israel terus menghindari kesepakatan gencatan senjata.
Dukungan penuh dari Amerika Serikat dinilai sebagai salah satu faktor utama yang memungkinkan agresi ini terus berlangsung tanpa sanksi berarti.
“Setiap hari penundaan berarti lebih banyak darah ditumpahkan dan lebih banyak nyawa hilang,” tegas YPSP.
Yang paling memilukan adalah kenyataan bahwa bahkan para penolong pun kini menjadi target. Petugas medis, relawan, dan tenaga kemanusiaan tak luput dari serangan.
Salah satu korban terbaru adalah Dr. Marwan Al Sultan, Direktur Rumah Sakit Indonesia di Gaza, yang gugur saat menjalankan tugas kemanusiaan pada hari Selasa.
“Mereka datang membawa harapan, bukan senjata, tapi tetap jadi sasaran. Di Gaza, bahkan penyembuh pun dibunuh,” ujar Dr. Abu Alatta.
YPSP menyerukan langkah-langkah nyata yang harus segera diambil oleh komunitas internasional:
Yakni, Menekan negara-negara pendukung pendudukan Israel, terutama AS dan Uni Eropa, untuk menghentikan bantuan militer dan politik.
Menggalang tekanan diplomatik dan hukum internasional untuk menghentikan agresi.
Mendesak pembukaan jalur bantuan kemanusiaan yang aman dan permanen.
Membangun gerakan boikot politik, ekonomi, akademik, dan budaya terhadap Israel.
Memberikan dukungan moral, media, dan materiil untuk Gaza.
“Setiap hari tanpa aksi berarti lebih banyak nyawa hilang. Diam adalah bentuk keterlibatan dalam kejahatan,” demikian laporan YPSP. (top/*)