OLEH: RISKA NILMALASARI D. A
(Aktivis Muslimah)
Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengingatkan publik tentang ancaman besar yang mengintai Indonesia, yakni state capture kolusi antara pemilik modal besar dan elite politik. Kolusi ini, menurutnya, tidak banyak berkontribusi dalam mengentaskan kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ironisnya, peringatan ini muncul di tengah terungkapnya kasus mega korupsi senilai Rp118 triliun yang melibatkan Wilmar Group, perusahaan raksasa di sektor kelapa sawit (Tirto.id, 2024).
Namun, apakah fenomena ini hanya kesalahan oknum? Atau cerminan dari cacat sistemik? Banyak pihak menilai bahwa akar masalah ini berasal dari sistem demokrasi kapitalistik sekuler yang hari ini diterapkan di Indonesia dan banyak negara lain. Dalam sistem ini, kekuasaan diraih melalui kontestasi yang membutuhkan dana sangat besar dari kampanye hingga “mahar politik”. Maka, para politisi pun bergantung pada dukungan para pemilik modal besar. Tapi dana itu tentu tidak gratis; ada “balas jasa” dalam bentuk proyek, regulasi, atau kebijakan yang menguntungkan kepentingan bisnis mereka.
Inilah yang disebut state capture: negara disandera oleh kepentingan korporasi. Kasus Wilmar menunjukkan betapa lemahnya pengawasan negara terhadap perusahaan besar yang memiliki jejaring politik. Kerugian negara Rp118 triliun bukan hanya merugikan secara finansial, tetapi juga memperlihatkan betapa sistemik dan berkuasanya oligarki.
Sistem demokrasi sekuler gagal membendung korupsi dan kolusi karena telah memisahkan agama dari kehidupan publik. Politik hanya dilihat sebagai urusan duniawi, tanpa nilai moral atau pengawasan Ilahi. Yang tersisa hanyalah kalkulasi untung-rugi, prosedur hukum formal, dan celah yang bisa dimanfaatkan.
Dalam kondisi seperti ini, korupsi dan kolusi bukan sekadar penyimpangan, melainkan keniscayaan sistem. Hukum bisa dibeli, media bisa dibungkam, dan opini publik bisa dikendalikan oleh kekuatan modal.
Berbeda dengan sistem demokrasi kapitalistik, Islam menawarkan sistem politik yang berlandaskan akidah dan syariah. Kekuasaan dalam Islam adalah amanah, bukan komoditas. Rasulullah SAW bersabda:
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan, karena jika engkau diberi karena memintanya maka engkau akan diserahkan kepada dirimu sendiri…” (HR. Bukhari & Muslim)
Dalam sistem Islam, tidak ada politik transaksional. Pemimpin dipilih berdasarkan kelayakan syar’i, bukan popularitas atau kekuatan logistik. Islam membentuk tiga pilar pengawasan negara yang kuat:
1. Taqwa individu, melalui pendidikan akidah bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.
2. Masyarakat yang aktif amar makruf nahi mungkar, bukan permisif terhadap penyimpangan kekuasaan.
3. Negara yang menerapkan sanksi syariah, seperti hudud, ta’zir, dan jinayat untuk keadilan dan pencegahan korupsi.
Dalam sejarah Islam, banyak pemimpin yang tegas terhadap korupsi. Khalifah Umar bin Khattab pernah mencabut harta pejabat yang hidup mewah dan mengembalikannya ke baitul mal. Ini menunjukkan bahwa Islam memiliki sistem yang tegas dan adil terhadap penyimpangan kekuasaan.
Islam juga mencegah politik balas budi dan nepotisme. Jabatan diberikan berdasarkan keahlian dan amanah. Siapa pun yang berkhianat, bisa langsung diberi sanksi atau bahkan dimakzulkan oleh umat.
Kasus-kasus korupsi besar di Indonesia menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya pada individu, tapi sistem yang memberi ruang besar bagi kolusi dan pembajakan kekuasaan oleh oligarki. Oleh karena itu, Islam bukan hanya alternatif, tapi solusi sistemik yang mampu mengakar kuat dalam keadilan, integritas, dan akuntabilitas. Sejarah peradaban Islam telah membuktikan kemampuannya membangun masyarakat yang bersih, adil, dan bermartabat.
Wallahu a’lam bishawab…