JAKARTA, OKENESIA.COM- Pengumuman bersama Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tentang sebuah rencana untuk Gaza memicu kecaman keras dari pihak-pihak yang menilai dokumen itu bukan solusi perdamaian melainkan upaya memperkuat penjajahan dan meniadakan kedaulatan Palestina.
Demikian informasi yang diterima Okenesia.com dari akun Telegram Pal.info, Selasa (30/9/2025)
Menurut pernyataan resmi dan penjelasan yang beredar, rencana itu menawarkan paket bertahap yang mencakup gencatan senjata, penukaran tawanan, pembongkaran sayap militer Hamas, serta pembentukan pemerintahan transisi yang dibantu aktor internasional — sementara syarat-syarat utamanya menuntut Hamas menyerahkan senjata dan melepaskan kontrol politiknya atas Gaza.
Kritikus menyebut tuntutan ini sebagai syarat yang menempatkan rakyat Palestina pada status tanpa kedaulatan nyata.
Para penentang rencana menegaskan beberapa poin kunci yang mereka anggap paling berbahaya: rencana itu tidak menyebut penarikan pasukan secara tegas, tidak menjamin kedaulatan negara Palestina, dan lebih menekankan pada mekanisme keamanan yang menguntungkan Israel.
Mereka menyebut “bagian positif” yang digembar-gemborkan pendukung rencana sebagai ilusi karena teks rencana tidak secara jelas memberi entitas politik berdaulat bagi warga Palestina.
Lebih jauh lagi, kritik menilai rencana ini memenuhi keinginan penguasa Israel: pengembalian tawanan, penghancuran kemampuan perlawanan bersenjata, serta keberlangsungan kehadiran militer Israel di Gaza tanpa jaminan penarikan permanen.
Sebagian pengamat menyebut rencana tersebut sebagai upaya mengubah situasi kekerasan yang sedang berlangsung menjadi keuntungan politik bagi pihak penjajah.
Dari pihak pendukung, baik Trump maupun Netanyahu mempresentasikan rencana ini sebagai kesempatan bersejarah untuk merestorasi keamanan dan membuka peluang ekonomi bagi wilayah yang hancur oleh konflik. Namun, poin-poin yang dianggap sebagai “jalan menuju negara” oleh pendukungnya dikritik luas oleh negara-negara Arab, organisasi internasional, dan kelompok-kelompok Palestina sejak proposal Trump sebelumnya pada 2020, yang juga mendapat penolakan besar karena dinilai menghadirkan kedaulatan yang sangat terbatas bagi Palestina.
Menanggapi hal tersebut, seruan yang beredar di kalangan masyarakat pro-Palestina meminta penolakan tegas terhadap rencana itu dan menegaskan hak untuk mempertahankan tanah, tempat suci, serta hak atas kebebasan dan kedaulatan.
Pernyataan yang beredar menekankan bahwa rencana ini bukan peluang politik melainkan upaya untuk menghapuskan perjuangan rakyat Palestina, sehingga menggagalkannya disebut sebagai “kewajiban seluruh umat” menurut pernyataan pendukung tersebut. (Dalam beberapa pernyataan disertai kutipan ayat Al-Qur’an yang mengakhiri teks seruan tersebut.)
Meski pihak AS dan Israel mempromosikan rencana ini sebagai jalan keluar dari konflik di Gaza, keberlangsungan rencana itu sangat bergantung pada reaksi dan penerimaan aktor-aktor utama, termasuk Hamas dan komunitas internasional.
Sebelum ada persetujuan luas dari semua pihak terkait, banyak pihak melihat rencana ini sebagai dokumen yang berisiko memperkokoh status quo yang tidak menguntungkan rakyat Palestina.
Laporan ini menyusun argumen dan klaim yang beredar di publik tentang rencana yang diumumkan pada 29 September 2025 dan mengutip reaksi berbagai pihak sebagaimana dilaporkan oleh media internasional. (top/*)