OLEH: H. ISWAN KURNIA HASAN, LC, M.A
(Pimpinan Umum Okenesia.com/Direktur Alquran Institute Banggai)
OKENESIA.COM- Apakah sama antara cinta Allah Subhânahu wa Ta’âla kepada seseorang, dan cinta manusia kepada sesamanya? Apakah sama antara cinta sang Rabb, dengan cinta seorang ibu kepada anaknya? Cinta seorang istri kepada suaminya? Cinta seorang anak kepada Ayahnya? Cinta yang terjalin antara sesama saudara? Atau bentuk cinta manusia lainnya?
Bila pertanyaan ini sempat terlontar dalam benak, maka kita sudah punya jawabannya. Jelas berbeda antara cinta yang diberikan oleh Sang Maha Cinta. Dan cinta manusia. Dalam surat Asy-Syura ayat 11 disebutkan, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa denganNya. Dia Maha Mendengar, lagi Maha Melihat”.
Segala sesuatu yang terkait dengan Dzat Allah Subhânahu wa Ta’âla sangat berbeda dengan manusia. Tidak ada yang bisa menyamai. Allah Khalik, sementara manusia makhluk. Allah Pencipta, sementara manusia tercipta. Allah Maha Segalanya. Sementara manusia terbatas daya dan upaya. Begitu pula dengan urusan cinta. Cinta Allah adalah cinta yang sempurna. Cinta yang Utuh. Cinta tanpa batas. Sementara cinta manusia tidak purna, kurang dan terbatas.
Dalam kitab al-Maqshid al-Asnâ fi Syarhi Asmâ Allah al-Husnâ, Imam Abu Hamid Al-Ghazali menjelaskan tentang level cinta. Menurutnya cinta ada tiga tingkatannya. Pertama, rahmah tâmmah. Yaitu cinta yang utuh tanpa batas. Sehingga mendorong untuk memenuhi hajat yang membutuhkan secara langsung. Hanya karena didorong oleh rasa cinta. Cinta seperti ini menempati level tertinggi. Cinta yang diberikan secara utuh. Tanpa perlu timbal balik. Tanpa perlu tanggapan positif dari yang dicintai. Bahkan penolakan, hujatan, makian dan ketidaktaatan, tidak mengurangi daya cinta yang diberikan.
Kedua, rahmah ‘âmmah. Yaitu cinta yang tersalurkan tanpa pandang bulu. Diberikan kepada yang berhak untuk mendapatkan cinta tersebut atau tidak. Cinta di level ini juga disebut cinta yang sifatnya umum. Tidak khusus. Semua pihak diberikan cinta tanpa terkecuali. Dan tingkatan terendah adalah rahmah nâqishah. Atau cinta yang tidak sempurna. Terbatas. Tanpa daya dan upaya. Cinta yang diberikan kepada orang lain, namun terbatas. Tidak bisa maksimal. Karena keterbatasan pihak yang mencinta itu sendiri. Sehingga daya cinta juga tidak maksimal dirasakan oleh orang lain.
Imam Al-Ghazali kemudian menegaskan, “Rahmat Allah itu sempurna dan merata. Kesempurnaan RahmatNya itu terealisasi dalam bentuk Iradah untuk memenuhi hajat yang membutuhkan dan menyelesaikannya dengan sempurna. Meratanya Rahmat karena mencakup semuanya. Baik yang berhak maupun yang tidak berhak. Baik di dunia Rahmat itu disebar, maupun di akhirat. Juga, tidak hanya menyentuh kebutuhan primer. Tapi sekunder dan tersier juga. Itulah cinta yang betul-betul mutlak”.
Cinta mutlak itulah yang diberikan Allah kepada seluruh makhluknya. Di satu sisi, Allah mencintai orang-orang yang taat dengan segala bentuknya. Seperti yang difirmankan dalam Alquran; “Dan Allah mencintai orang-orang yang bersuci” (QS. Attaubah: 108). “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik” (QS. Albaqarah: 195). “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaqwa” (QS. Attaubah: 4). “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang sabar” (QS. Ali Imran: 146). “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal” (QS. Ali Imran: 159). “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Almaidah: 42).
Di sisi lain, cinta-Nya juga diberikan bagi pelaku maksiat, yang segera sadar dan kembali. Hanya karena dorongan untuk kembali menjadi taat, setelah sebelumnya maksiat, cinta Allah langsung diberikan. Dalam surat Albaqarah ayat 222, Allah Subhânahu wa Ta’âla berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat (sama cintanya) dan orang-orang yang senantiasa mensucikan diri”.
Bahkan secara khusus, Allah memberikan perlakuan yang Istimewa kepada para pelaku maksiat. Di saat mereka masih berkubang dalam maksiat, dan belum bertaubat. Sebagai wujud dari cinta Allah yang tanpa batas itu. Imam Ibnu Rajab Al-Hambaliy, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab mereka, sepakat menyebutkan sebuah atsar, dalam bentuk firman Allah melalui lisan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam. Seperti dalam kitab Madârij As-Sâlikîn, disebutkan atsar tersebut, “Orang yang mengingatKu (Allah), adalah orang yang berhak bertemu denganKu. Orang yang bersyukur kepadaKu adalah orang yang berhak untuk Aku temui. Orang yang taat kepadaKu, adalah orang yang Aku muliakan. Sementara orang yang berbuat maksiat kepadaKu, tidak pernah aku putuskan dari RahmatKu. Bila ia bertaubat, maka Aku akan menjadi Dzat Yang Paling Mencintainya. Sesungguhnya aku mencintai orang-orang yang bertaubat sebagaimana Aku mencintai orang-orang yang bersuci. Bila mereka enggan untuk bertaubat, aku tetap akan merawat mereka. Aku akan memberikan ujian kepada mereka, untuk mensucikan mereka dari dosa”.
Karena dorongan cinta, Allah Subhânahu wa Ta’ala memberikan perlakuan Istimewa bagi pelaku maksiat. Allah tetap memberikan rahmatNya, mendistribusikan rizkiNya, mencurahkan anugrahNya. Sambil Allah menunggu pelaku maksiat itu untuk kembali kepadaNya. Bila ia bertaubat, maka Allah segera merengkuhnya dengan cinta yang mutlak. Cinta yang sama diberikan kepada orang-orang yang senantiasa taat dan tidak berbuat maksiat. Bila masih membutuhkan waktu, atau bahkan enggan untuk kembali, Allah memberikan treatment dengan musibah, sebagai bentuk teguran, peringatan, agar segera kembali untuk mendapatkan cintaNya.
Bila kembali enggan, maka karena dorongan cinta kepada makhlukNya, Allah akan tetap menunggu, sampai ruh sang hamba terpisah dari jasadnya di dunia. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba sebelum nafasnya sampai di tenggorokan”.
Selama hayat masih dikandung badan, cinta Allah tetap utuh untuk kita makhlukNya. Baik saat kita taat, maupun maksiat. Saat kita taat, maka cinta itu akan mengalir tanpa henti. Sementara saat maksiat, saat cinta Allah bertepuk sebelah tangan dari makhlukNya, saat kita berkubang dalam dosa, Allah tetap menunggu kita segera kembali dengan cintaNya yang utuh. Sampai ajal datang. Bahkan terkadang, cinta Allah buat pelaku maksiat, berlanjut di akhirat, selama masih tertutur kalimat tauhid. Selama masih ada iman dalam hati. Walaupun hanya setitik kecil, yang bahkan tidak bisa terlihat oleh mata telanjang. (***)