Jakarta, Okenesia.com – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI bersama Menteri Kelautan dan Perikanan RI menyampaikan sambutan kunci pada seminar peluncuran hasil studi bertajuk “Ekosistem Karbon Biru sebagai Critical Natural Capital: Blue Carbon Ecosystem Governance di Indonesia” hari ini (30/1) di Gedung Manggala Wanabakti Jakarta. Seminar ini diselenggarakan atas kerjasama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) yang didukung oleh The Asia Foundation (TAF).
KLHK dan KKP sebagai pemangku kepentingan kunci pengelolaan Ekosistem Karbon Biru (EKB) di Indonesia terus berupaya menjadikan Ekosistem Karbon Biru sebagai Modal Alam yang harus dikelola secara berkelanjutan di Indonesia. Untuk itu, upaya perlindungannya agar semakin diperkuat berdasarkan prinsip keilmuan dan keterbukaan.
Sebagai pemilik 17 persen cadangan karbon biru dunia, Indonesia memiliki peluang besar memanfaatkan Ekosistem Karbon Biru sebagai salah satu solusi untuk mengatasi perubahan iklim. EKB yang meliputi hutan mangrove, padang lamun (seagrass), rawa air asin (salt marshes), memiliki potensi yang besar sebagai penyerap dan penyimpan karbon (carbon sequestration and storage) yang berperan penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim. EKB juga memegang peran signifikan untuk adaptasi perubahan iklim terutama bagi masyarakat pesisir yang ruang hidup dan penghidupannya berpotensi terdampak oleh climate-related coastal risks, seperti cuaca ekstrem, badai, erosi, banjir dan sebagainya. Berbagai risiko ini bisa mengakibatkan dampak sosial-ekonomi, terancamnya keanekaragaman hayati, dan berkurangnya layanan ekosistem yang berdampak pada kelangsungan hidup manusia dan alam.
Dalam sambutannya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Siti Nurbaya menyampaikan bahwa kajian Ekosistem Karbon Biru yang telah disusun dengan mengintegrasikan ekosistem laut yang meliputi hutan mangrove, padang lamun, estuaria atau rawa air payau/rawa air asin, dan terumbu karang, memiliki potensi yang besar sebagai penyerap dan penyimpan karbon (carbon sequestration and storage) yang berperan penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Dan atas dasar ecosystem base maka diantara bagian-bagian studi menjadi sangat relevan dengan agenda FOLU Net Sink 2030 yang menjadi tekad kita sebagai bangsa.
“Pada pandangan saya, inilah yang akan dapat menjadi arahan Governance kita terkait Karbon dengan ecosystem based, yang mencakup aspek-aspek regulasi, insititusi, proses, sistem dan prosedur, partisipasi masyarakat, sistem pembiayaan, data base dan policy excercise and policy making serta interaksi national (pemerintah pusat) dan sub national (masyarakat, swasta, pemda) dan terutama bagaimana pola coercive dan cooperatives bisa terbangun dan terjalin baik berkenaan dengan Karbon. Dalam elaborasinya seperti dalam hal peran, tekanan, mandat antar lembaga, pengendalian, asumsi implementasi, sumber inovasi kebijakan dan penekanan implementasi menuju Carbon Governance”, ujar Menteri Siti.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyampaikan bahwa saat ini program terkait karbon biru cenderung berfokus hanya pada satu jenis ekosistem yaitu mangrove, sehingga perkembangan karbon biru di Indonesia juga perlu memperhitungkan ekosistem karbon biru penting lain, yaitu ekosistem lamun. Trenggono juga menjelaskan bahwa pengelolaan karbon biru dalam konteks perubahan iklim merupakan bagian penting pada dua dari lima kebijakan Ekonomi Biru yang sedang didorong KKP yaitu perluasan Kawasan Konservasi Laut hingga 30% di tahun 2045 dan Pengelolaan Berkelanjutan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
“Dengan memperluas kawasan konservasi menjadi 30% maka ekosistem lamun dan mangrove yang berada di kawasan konservasi berpotensi menyerap sekitar 188 juta tCO2eq”, ujar Trenggono.
Menanggapi pernyataan positif kedua menteri, CEO IOJI Dr. Mas Achmad Santosa, SH., LL.M. menambahkan, “Sekalipun EKB memiliki potensi yang besar dalam mengatasi perubahan iklim dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, kondisi EKB telah lama terancam oleh tekanan antropogenik. Ketika terdegradasi, EKB akan beralih dari penyerap karbon menjadi pelepas emisi karbon yang signifikan. Degradasi juga merusak perlindungan ekosistem pesisir serta mengancam penghidupan masyarakat yang bergantung pada EKB. Oleh karenanya, IOJI mendorong supaya Pemerintah Indonesia menjadikan EKB ke dalam kategori Critical Natural Capital.”
Lebih lanjut Santosa kembali menegaskan bahwa bukti keilmuan peran EKB sudah sangat jelas. EKB adalah solusi berbasis laut (ocean-based solution) sekaligus sebagai critical natural capital untuk pengendalian perubahan iklim, serta menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat pesisir. Konsekuensi dari penetapan EKB sebagai CNC berarti EKB berhak, layak dan harus dijamin dengan instrumen perlindungan yang kuat. CNC sendiri merupakan elemen utama dari konsep atau paradigma pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, yang sejalan dengan konstitusi khususnya pasal 33 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945. Ayat tersebut menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Studi yang diluncurkan hari ini disusun menggunakan metode normatif-empiris dengan pendekatan komparatif selama satu setengah tahun termasuk wawancara, diskusi kelompok terfokus, dan tinjauan lapangan ke tiga provinsi yaitu Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur. Studi ini mengkaji enam elemen tata kelola EKB, yaitu 1) Kerangka Hukum dan Kebijakan Nasional; 2) Penataan Kelembagaan; 3) Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat; 4) Keamanan Tenurial; 5) Pengawasan dan Penegakan Hukum; serta 6) Pendanaan dan Pendistribusian Manfaat secara Berkeadilan.
Kebijakan berbasis sains (scientific based policies) memerlukan koordinasi yang baik untuk merealisasikan potensi EKB dalam berkontribusi pada pencapaian ambisi iklim Indonesia Target Pembangunan Berkelanjutan, serta peningkatan kesejahteraan blue carbon dependent people. Blue carbon ecosystem governance yang kuat melalui kolaborasi dan sinergi antar pemangku kepentingan akan menjadi katalisator untuk memastikan masa depan EKB yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Seminar yang digelar secara luring hari ini menghadirkan panelis yang ahli di bidang masing-masing, terdiri dari Dr. Nani Hendiarti, M.Sc. (Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi), Prof. Dr. Daniel Murdiyarso (Principal Scientist, CIFOR-ICRAF), Andre Rodrigues de Aquino (Lead Environmental Specialist, the World Bank), Gubernur Provinsi Kepulauan Riau yang diwakili oleh T.S. Arif Fadillah (Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat), dan Subhan (Ketua Kelompok Tani Hutan Ramah Lingkungan Salo Sumbala, Kalimantan Timur).
Seminar Penguatan Blue Carbon Ecosystem Governance ini akan dilanjutkan dengan diskusi interaktif via Zoom dengan tiga topik besar dalam breakout session sebagai berikut: 1) Kerangka Hukum dan Kebijakan serta Penegakan Hukum, 2) Peran Masyarakat dan Keamanan Tenurial, dan 3) Pendanaan dan Pendistribusian Manfaat secara Berkeadilan. Tiga topik ini diarahkan untuk menjawab tiga pertanyaan utama, yaitu: Pertama, bagaimana kerangka hukum dan kebijakan nasional mengatur pengelolaan EKB. Kedua, apa tantangan utama yang dihadapi aktor pemerintah dan non-pemerintah dalam memberikan perlidungan efektif terhadap EKB, serta masyarakat yang bergantung pada EKB. Ketiga, apa saja rekomendasi bagi upaya kebijakan yang dapat menguatkan perlindungan EKB dan memberdayakan masyarakat yang bergantung pada EKB.