Ahli Waris Gugat Penguasaan Lahan dan Bangunan Toko Trend Music Luwuk

0

BANGGAI, OKENESIA.COM- Enam ahli waris yakni, Yuliana Sukiwun, Yohana Sukiwun, Tedy Sukiwun, David Sukiwun, Rahmad, Raynaldy Valentino Sukiwun mengajukan gugatan terhadap penguasaan lahan dan bangunan toko Trend Music yang terletak di Jalan Ahmad Yani, Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai.

Untuk melakukan upaya hukum, keenam ahli waris itu mempercayakan kepada Law Firm Ishak Adam & Partners. “Enam bersaudara ini memberikan kuasa kepada saya untuk menggugat ke Sandra Lianto, Kevin Reinhart Wunawan, Maskus Maitano, Gery Samuel Juventino Martinez dan Robert Yinata. Duduk perkaranya adalah menguasai obyek sengketa berupa toko yang sekarang dikuasai oleh mereka. Yakni, Toko Trend Music di Jalan Ahmad Yani, Luwuk,” ujar kuasa hukum ahli waris, Ishak Adam didampingi salah satu ahli waris Tedy Sukiwun kepada pewarta di Estrella Hotel, Luwuk Selatan, Kabupaten Banggai, Rabu (4/10/2023) sore.

Ishak Adam, pimpinan Law Firm Ishak Adam & Partners yang berkedudukan di Palu, Sulawesi Tengah ini perlu menjelaskan secara detail alasan mendasar mengapa keenam ahli waris itu mengajukan gugatan perdata terhadap penguasaan lahan dan bangunan.

Orang tua para penggugat, yakni mendiang almarhum Woen Ho Tjin yang lahir di Tiongkok merantau ke Indonesia bersama-sama dengan mendiang almarhum Woen A Soen sekitar tahun 1950 dan kemudian menetap di Luwuk, Kabupaten Banggai.

Semasa hidupnya, mendiang almarhum Woen A Soen telah mengangkat sebagai anak secara adat Tiongkok ayah dari para penggugat, yakni almarhum Woen Ho Tjien dan hidup bersama-sama di Luwuk. Mendiang Woen A Soen yakni orang tua angkat almarhum Woen Ho Tjen memiliki dua istri, yakni istri pertama mendiang Lie Sien Ing, kemudian kawin lagi dengan mendiang Yap Piet Hiong atau yang telah mengganti nama Indonesia Yuliana Hidayat dan telah meninggal pada medio November 2010.

Mendiang Woen A Soen secara adat Tiongkok telah mengangkat sebagai anak orang tua para penggugat Almarhum Woen Ho Tjin. Hal ini dapat dibuktikan dengan surat berupa pernyataan dari para saksi-saksi yang telah dilegalisir oleh dan di hadapan notaris. Orang tua para penggugat yakni, Woen Ho Tjin semasa hidupnya telah melakukan pernikahan dua kali, yakni, istri pertama adalah mendiang Lie Lang Ing yang memiliki keturunan, Wun Sin Yun, Wun Kong Siong, Wun Kong Fi serta Wun Kong Fung.

Sementara istri keduanya urai Ishak Adam, adalah mendiang Lie Wae Tjeng yang memiliki keturunan, yakni, Yuliana Sukiwun, Yohana Sukiwun, Tedy Sukiwun, almarhum Dance Sukiwun (memiliki ahli waris pengganti Raynaldy Valentino Sukiwun), David Sukiwun serta Rahmad. Di perkara ini, mereka berenam ini adalah penggugat.

Nah, selanjutnya, sejak orang tua para penggugat meninggal dunia tanggal 13 Maret 1973 di Surabaya, maka mendiang Woen A Soen mengangkat anak kembali. Ini berdasarkan pencatatan sipil Kota Madya Daerah Tingkat II Surabaya atas nama Hen Djing atau nama Indonesia Hendro Wunawan. Akta pengangkatan anak itu dibuat di Surabaya tertanggal 27 Februari 1978, dan kemudian yang bersangkutan meninggal dunia pada tanggal 3 Juli 2022. Semasa hidupnya, almarhum Hendro Wunawan tidak pernah menikah.

Ishak Adam menguraikan bahwa semasa hidupnya orang tua para penggugat mendiang Woen Ho Tjin membantu orang tua angkatnya, yakni mendiang Woen A Soen dalam mengembangkan usahanya berupa toko kelontong dan jual beli hasil bumi di Luwuk, Kabupaten Banggai, walaupun orang tua para penggugat juga membuka usaha di Kecamatan Balantak yang diurus dan dikelola oleh almarhum Woen Ho Tjin.

Sejak orang tua para penggugat meninggal dunia, Woen A Soen mengangkat anak yang bernama Hen Djing alias Hendro Wunawan. Woen A Soen yang telah berpulang itu meninggalkan harta warisan, yakni objek sengketa yang belum pernah dibagi waris kepada ahli waris pengganti Woen Ho Tjin yakni pada penggugat.

Setelah kakek para penggugak yakni mendiang Woen A Soen meninggal dunia, maka secara melawan hukum istri kedua dari mendiang Woen A Soen yang bernama Yap Piet Hiong alias Yuliana Hidayat sebelum meninggal telah membuat akta pernyataan ahli waris, di mana menjadi justifikasi hukum oleh Hendro Wunawan merubah sertifikat hak milik atas nama Hendro Wunawan dari atas nama Yap Piet Hiong alias Yuliana Hidayat ke atas nama Hendro Wunawan.

Peralihan hak milik objek sengketa dari mendiang Yap Piet Hiong alias Yuliana Hidayat itu dilakukan dengan cara melawan hukum atau onrechtmatige daad. Sebab oleh karenanya, surat pernyataan waris tersebut tidak melibatkan atau mendapatkan persetujuan dari para penggugat sebagai ahli waris pengganti dari mendiang Woen Ho Tjin sebagai anak angkat dari mendiang Woen A Soen, maka oleh karena itu, proses peralihan objek sengketa ke almarhum Hendro Wunawan adalah cacat hukum dan tidak mengingkat kepada para penggugat.

“Nah, oleh karena peristiwa hukum (juridische geberurtenissen), yakni proses peralihan objek sengketa yang dibeli oleh mendiang Woen A Soen yang diatasnamakan Yuliana Hidayat adalah tidak sah (ongeldig), maka penggugat memohon kepada majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini, kiranya dapat memutuskan bahwa objek sengketa adalah harta peninggalang mendiang Woen A Soen yang belum terbagi,” ungkap Ishak Adam.

Dalil para penggugat bahwa almarhum Hen Djing alias Hendro Wunawan semasa hidupnya tidak pernah kawin, namun tergugat yakni Sandra Lianto membuat surat nikah yang seolah-olah bahwa perkawinan a quo adalah sah. Padahal, hal tersebut adalah merupakan perkawinan yang direkayasa oleh Sandra. Seolah-olah Hendra Wunawan telah menikahi Sandra Lianto. Padahal faktanya, Sandra Lianto saat itu telah bersuami, sehingga dipertegas Pendeta Y. Dada yang melakukan proses perkawinan menyatakan bahwa benar perkawinan tersebut hanyalah formalitas belaka. Hal ini untuk menegaskan tergugat Sandra Lianto adalah ahli waris almarhum Hen Djing alias Hendro Wunawan yang sudah barang tentu telah memiliki niat jahat untuk menguasai objek sengketa secara melawan hukum.

Dalil para penggugat bahwa untuk melindungi harta warisan peninggalan Woen A Soen, maka para penggugat memohon kepada majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo untuk menyatakan perkawinan tersebut adalah tidak sah.

Menyedihkannya lagi urai Ishak Adam, pada saat Hendro Wunawan meninggal dunia, diduga kuat tergugat yakni, Sandra Lianto, Kevin Reinhart Wunawan, Markus Maitano serta Gerry Samuel Juventino Martinez secara melawan hukum menyembunyikan dan atau mengambil dengan cara melawan hukum sertifikat hak milik atas nama Hendro Wunawan (objek sengketa), sehingga perbuatan Sandra Lianto, Kevin Reinhart Wunawan, Markus Maitano serta Gerry Samuel Juventino Martinez dikategorikan sebagai perbuatan yang melawan hukum dengan segala akibatnya yang merugikan hak-hak keperdayaan para penggugat.

Ishak juga menguraikan bahwa empat tergugat menyembunyikan dan atau mengambil dokumen milik Hen Djing alias Hendro Wunawan dilakukan beberapa hari Hen Djing meninggal dunia, yakni berupa rekaman CCTV di depan ruko atau objek sengketa yang tidak sempat dirusak oleh para tergugat.

Perbuatan para tergugat itu, objek sengketa terancam tidak dilanjutkan masa sewa bangun. Akibatnya, para penggugat mengalami kerugian materil berupa hak sewa objek sengketa.

Sementara kerugian imateril, para penggugat itu mendapatkan malu di hadapan relasi bisnis, kolega dan di masyarakat serta hal yang lebih terasa adalah para penggugat tertekan batinnya, sehingga tidak berlebihan para penggugat menuntut kerugian imateril sebesar Rp1 miliar.

Upaya para penggugat ternyata tidak sia-sia. Ishak Adam mengabarkan bahwa majelis hakim Pengadilan Negeri Luwuk di sidang Rabu (4/10/2023) siang telah mengabulkan sebagian. Yakni, almarhum Woen Ho Tjin adalah anak angkat Woen A Soen sebagai ahli waris pengganti. Selanjutnya, harta warisan yang ditinggalkan Hendro Wunawan itu adalah harta Woen A Soen, sebagai ahli waris Woen Ho Tjin. Dengan demikian, ahli waris penggantinya adalah anak-anak Woen Ho Tjin.

“Majelis hakim juga memutuskan bahwa objek sengketa dikosongkan serta sertifikat hak milik yang diambil Sandra Lianto dan tergugat lainnya dikembalikan. Para tergugat, dihukum membayar uang Rp200 ribu setiap hari setiap keterlambatan kepatuhan putusan hukum,” demikian Ishak Adam. (top)

Comments
Loading...