Israel Hancurkan Kemungkinan Apapun Pendirian Negara Palestina
JAKARTA, OKENESIA.COM- Proses penyelesaian damai antara Pendudukan Israel dengan Palestina telah dilakukan. Perjanjian Oslo salah satunya. Perjanjian Oslo yang ditandatangani pada tahun 1993 dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menetapkan pembentukan negara merdeka Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Namun, Israel secara sistematis menghancurkan setiap kemungkinan untuk mendirikan negara Palestina melalui kampanye pembangunan permukiman dan Yahudisasi tanah Palestina di Tepi Barat dan Yerusalem yang diduduki.
Demikian penjelasan dan klarifikasi terkait ‘Badai Al-Aqsha’ yang diterbitkan Hamas bertajuk ‘Narasi Kami, Operasi Badai Al-Aqsha’ yang diterima Okenesia.com, Rabu (24/1/2024) siang ini.
Para pendukung proses perdamaian setelah 30 tahun menyadari bahwa mereka telah menemui jalan buntu dan bahwa proses tersebut mempunyai akibat yang sangat buruk bagi rakyat Palestina.
Hamas menyebut, para pejabat Israel dalam beberapa kesempatan menegaskan penolakan mutlak mereka terhadap pembentukan negara Palestina. Hanya satu bulan sebelum Operasi Banjir Al-Aqsa, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu menyajikan peta yang disebut “Timur Tengah Baru,” yang menggambarkan Israel yang membentang dari Sungai Yordan hingga Laut Mediterania termasuk Tepi Barat dan Gaza.
Seluruh dunia yang hadir di podium Majelis Umum PBB itu pun bungkam atas pidatonya yang penuh arogansi dan ketidakpedulian terhadap hak-hak rakyat Palestina.
Setelah 75 tahun pendudukan dan penderitaan yang tak henti-hentinya, dan setelah gagalnya semua inisiatif pembebasan dan pengembalian rakyat Palestina, dan juga setelah hasil buruk dari apa yang disebut sebagai proses perdamaian.
Apa yang dunia harapkan dari rakyat Palestina yang dapat mereka lakukan sebagai tanggapannya? Hamas menguraikan, beberapa hal.
Pertama, rencana Yudaisasi Israel terhadap Masjid Al-Aqsa yang diberkahi, upaya pembagian temporal dan spasialnya, serta intensifikasi serangan pemukim Israel ke dalam masjid suci.
Ke dua, praktik pemerintah Israel yang ekstremis dan sayap kanan yang secara praktis mengambil langkah-langkah untuk menganeksasi seluruh Tepi Barat dan Yerusalem ke dalam apa yang disebut kedaulatan Israel di tengah rencana di meja resmi Israel untuk mengusir warga Palestina dari rumah dan wilayah mereka.
Ke tiga, ribuan tahanan Palestina di penjara-penjara Israel yang mengalami perampasan hak-hak dasar mereka serta penyerangan dan penghinaan di bawah pengawasan langsung menteri fasis Israel Itamar Ben-Gvir.
Ke empat, blokade udara, laut, dan darat yang tidak adil diberlakukan di Jalur Gaza selama 17 tahun.
Ke lima, perluasan pemukiman Israel di Tepi Barat pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, serta kekerasan sehari-hari yang dilakukan oleh pemukim terhadap warga Palestina dan properti mereka.
Ke enam, tujuh juta warga Palestina yang hidup dalam kondisi ekstrem di kamp pengungsi dan daerah lain yang ingin kembali ke tanah air mereka, dan diusir 75 tahun yang lalu.
Ke tujuh, kegagalan komunitas internasional dan keterlibatan negara adidaya dalam mencegah berdirinya negara Palestina.
“Apa yang diharapkan dari rakyat Palestina setelah semua itu? Untuk terus menunggu dan terus mengandalkan PBB yang tidak berdaya! Atau mengambil inisiatif dalam membela rakyat, tanah, hak dan kesucian Palestina; mengetahui bahwa tindakan pembelaan adalah hak yang tercantum dalam hukum, norma dan konvensi internasional,” ungkap Hamas balik bertanya. (top/**)