OLEH: SUTOPO ENTEDING
Beberapa waktu lalu, saya tersinggung dengan ungkapan seorang pengusaha lokal di kampung saya. Ungkapan itu seolah memastikan bahwa seluruh wartawan kelakuannya serupa. Memainkan kemampuan menulisnya untuk meraup keuntungan.
Misalnya, pengusaha atau sebut saja kontraktor tak becus mengerjakan proyek APBD, lalu si pewarta mendapatkan bukti beserta dokumentasinya yang benar-benar membuktikan pekerjaan proyek tidak dilaksanakan sesuai RAB (rencana anggaran biaya).
Upaya konfirmasi dilakukan, namun upaya ‘cover both side’ (proses peliputan suatu berita atau informasi yang melibatkan dua sudut pandang yang berbeda atau berlawanan) hanyalah digunakan sebatas ‘deal’. Akhirnya, berita tak diterbitkan dan pewarta mendapatkan manfaat segepok uang atau lebih dari segepok.
Branding terlanjur merusak marwah profesi pewarta adalah hal sulit diperbarui. Tentu, mereka yang berasumsi demikian, karena menemui pewarta yang benar-benar menjual kehormatannya. Dan bahkan, memang sengaja menjual kehormatannya sebagai pewarta.
Ada banyak kasus miris para pewarta. Mungkin saja, tak kuat dengan kondisi ekonomi atau mungkin saja kasus yang berpeluang untuk bisa ‘dimainkan’. Ibaratnya, kejahatan terjadi bukan hanya karena niat pelakunya, tapi kesempatan. Ini adalah soal etika. Dan masalah paling banyak mendera pewarta adalah etika.
Setelah keran terbuka, kemunculan media cetak menjamur di mana-mana. Kecanggihan teknologi saat ini, kian bertambah banyak lagi media online. Kemunculan media online, selain kecepatan penyajian berita, penerbitan media online tergolong minim modal.
Berbeda ketika menerbitkan koran cetak. Untuk mencetak koran, butuh padat modal. Bahkan, tak ada hitungan break even point atau titik impas. Sebab, bisnis koran, bukan seperti menjual barang kebutuhan harian. Butuh trust atau kepercayaan publik.
Baik media cetak maupun media online, tumbuh kembangnya bertumpu pada kepercayaan. Nah, kepercayaan itu dibangun atas etika yang melekat pada pewarta. Istilahnya adalah integritas.
Sejatinya, kemunculan media online bak jamur di musim hujan patut diapresiasi. Sebab, dengan menjamurnya media, akan semakin baik penyajian narasi. Juga berdampak baik, akan pengawasan terhadap sesuatu.
Dalam perkembangan kekinian, selain masalah etika yang masih senantiasa mengemuka, perihal sumber daya manusia pewarta patut jadi perhatian.
Dulu, ketika era media cetak, 8 hingga 10 pewarta tergabung dalam satu media cetak. Sekarang fenomena itu berbanding terbalik. Sepuluh pewarta, 10 juga jumlah medianya (baca: oneline).
Dalam pencermatan selama ini, media cetak masih lebih unggul kualitas produknya ketimbang produk media online.
Media online keunggulannya, cepat. Apalagi, rerata pembaca sudah terbiasa menerima sajian dalam bentuk share berita online di telepon genggam berbasis android. Tapi, ingat! Produk online tak bakal bisa menyamai kualitas produk media cetak.
Apa pasal? Produk media cetak, proses editingnya berjenjang. Ada redaktur, redaktur pelaksana hinga pimpinan redaksi yang mempelototi satu berita saja. Dengan jenjang pemeriksaan narasi berita, maka sudah pasti, berita yang tersaji akan lebih berkualitas.
Di sisi lain, produk media online begitu mudahnya diralat atau diperbaiki. Berbeda dengan media cetak, karena harus menunggu cetakan edisi di hari berikutnya.
Namun semua itu, baik cetak maupun online tetap harus mengedepankan profesionalisme pewarta. Baik dari sisi kualitas sumber daya manusia maupun etika.
Tak ada alasan, wartawan berkewajiban memperbarui memori otaknya untuk menambah pengetahuan. Menambah dan memperbaharui referensi, agar narasi berita sesuai dengan perkembangan kekinian.
Dalam berbagai kesempatan bersua dengan rekan-rekan pewarta, saya secara pribadi senantiasai mengingatkan bahwa tak ada wartawan senior. Yang ada, hanyalah wartawan tua. Olehnya itu, seorang wartawan tak boleh berhenti belajar dengan terus membaca dan membaca.
PWI sebagai organisasi profesi tertua maupun organisasi profesi wartawan lainnya menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumber daya pewarta.
Giliran kita sendiri, apakah mau atau tidak. Kita diberi pilihan di persimpangan jalan. Bersemangat meningkatkan kualitas SDM atau tidak.
SDM pewarta menentukan pula kualitas berita. Tak hanya dalam kemampuan penyusunan struktur berita, tapi pencermatan dan analisa.
Penetapan Hari Pers Nasional (HPN), adanya peran wartawan sebagai aktivis dalam pemberitaan yang membangkitkan kesadaran nasional masyarakat. Berangkat dari peran wartawan yang begitu penting, terbentuklah organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
HPN diperingati setiap tanggal 9 Februari. Dan hari ini, Jumat tanggal 9 Februari 2024, kita pun memperingatinya sekaligus memperingati HUT PWI yang dibentuk sejak tahun 1946.
Tugas pewarta sejak penetapan HPN dan HUT PWI untuk membangkitkan semangat nasional juga tak berbeda jauh dengan tugas kita yang terlahir di generasi sekarang. Bukan justru menjadi biang masalah.
Selamat Hari Pers Nasional tahun 2024 dan HUT ke 78 PWI. Jayalah PWI, Jayalah Negeriku.