Rilis; Ancaman Kreativitas Pewarta

0

OLEH: SUTOPO ENTEDING

Lantunan sendu ayat-ayat suci Alquran di Masjid Nurul Iman Mendono terdengar jelas di pagi yang cerah ini, Rabu (28/2/2024). Kopi hitam tanpa gula diseduh dengan racikan ‘cinta’ masih hangat. Asapnya masih mengepul kecil di gelas.

Saat sedang menikmati hangatnya kopi hitam, gawai tak berhenti berbunyi. Pesan masuk di aplikasi WhatsApp seolah tak berjeda. Pesan-pesan di WAG, beriringan. Beragam link berita dikirimkan rekan-rekan pewarta di Kabupaten Banggai.

Pesan berantai. Materinya serupa ada pula yang berbeda, tapi sebagian besar materinya sama persis. Hanya beda di pemberian judul. Setiap kali membuka pesan link berita, materinya sama. Tak ada perubahan. Hanya ‘diakali’ dengan perubahan judul.

Bahkan, ada yang sama persis dengan judul di rilis. Tanpa perubahan narasi maupun judul. Maklum, saya pun tergabung di WAG yang dibuat khusus untuk rilis berita ke media-media online dan cetak. Ada WAG buatan DKISP Banggai, WAG bahan rilis media milik Bagian Prokopim Setda Banggai. Dan ada pula WAG rilis Polres Banggai.

Untuk memastikannya, saya pun membuka link berita rekan-rekan pewarta. Wah, rupanya materi beritanya sama persis dengan rilis. Judul pun serupa. Untuk sekadar mencari angle berita pun, tidak.

Ada yang salah? Tidak! Tidak ada yang salah dengan menyadur berita rilis. Apalagi, rilis itu sengaja dibuat memang untuk di-post di berbagai media. Ya, sengaja. Nomor whatsapp pewarta digabungkan dalam satu WAG untuk memudahkan rilis itu dibaca dan diterbitkan.

Lalu, di mana letak masalahnya? Saya dengan sadar dan sengaja meletakkan judul ‘Rilis; Ancaman Kreativitas Pewarta’ ini sebagai refleksi terhadap kerja-kerja pewarta. Catatan kecil ini sejatinya kegundahan hati saya. Ya, kegundahan sebagai pewarta.

Kenapa gundah? Di sinilah saya tuangkan melalui catatan sederhana. Untuk menggambarkannya. Meskipun saya menyadarinya, pastilah akan ada yang memprotes atau mungkin tak sepakat.

Tulisan rilis sangatlah membantu pewarta. Sebab, tak perlu repot menulis, mengambil gambar dari sisi yang menarik dan tak perlu direpotkan untuk menghadiri agenda kegiatan untuk kepentingan liputan.

Secara umum siaran pers atau rilis bertujuan agar informasi bisa tersebar lebih luas. Dengan rilis itu, perusahaan atau lembaga akan lebih dikenal oleh banyak orang, sehingga bisa meningkatkan citra perusahaan atau lembaga.

Okelah, saya dan mungkin kita semua sependapat bahwa rilis memudahkan pewarta. Namun, sadarkah kita bahwa itu mengancam kreativitas pewarta?

Bisa disebut mengancam pewarta, karena tak ada kreativitas di dalamnya. Dimanjakan dengan tulisan rilis.

Saya masih ingat betul ketika Polres Banggai menggelar konferensi pers di akhir tahun. Sebagian langsung memposting berita-berita hasil konferensi pers, tapi sebagian lainnya menunggu rilis yang diterbitkan Humas Polres Banggai. Padahal, pewarta yang menerbitkan rilis berita di agenda konferensi pers itu juga mengikuti sesi konferensi. Aneh? Tidak, tapi tak elok.

Dari fakta demikian, analisa sederhana kian meyakinkan bahwa ancaman kreativitas pewarta benar-benar nyata. Bukan hanya sebatas isapan jempol belaka.

Dalam berbagai kasus pun demikian. Pewarta seolah tak tertarik lagi mengikuti liputan langsung. Praktis hanya menunggu rilis.

Namun, apakah semua peristiwa menunggu rilis? Jawabannya tidak. Jika terus-terusan seperti ini dan tanpa kesadaran personal pewarta, maka tentu akan sulit menghasilkan produk berita hasil tulisan sendiri.

Apatah lagi harapan untuk mengungkap masalah yang mendera masyarakat buntut kesulitan mengkreasikannya dalam narasi berita. Kesulitan menggambarkan fakta. Kita terjebak dengan kemanjaan.

Bukan hendak mengumbar, tapi faktanya adalah sebagian media online di daerah ini hanya menerbitkan berita-berita rilis. Minim karya. Bagaimana bisa menggantungkan harapan aspirasi, keluh kesah di masyarakat untuk dinarasikan dalam berita? Fungsi pilar demokrasi kian tergerus.

Tak hanya diperhadapkan dengan hal ini. Kita belum membahas soal pilihan kata per kata. Uraikan kata-kata menjadi kalimat. Hingga pemilihan kata pun kita sering salah tidak sesuai dengan ejaan yang disempurnakan atau EYD.

Padahal, bukanlah hal sulit. Sebab, cukup membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berbasis online.

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) atau lembaga menaungi profesi pewarta menitikberatkan pada kualitas. Dewan Pers pun menyadari bahwa keran terbuka menjamurnya penerbitan media, baik cetak maupun online, harus dibarengi dengan kualifikasi pelaku media.

Itulah sebabnya, lahirlah uji kompetensi. Dari sini, kita diuji apakah memenuhi kualifikasi sebagai pewarta atau tidak.

Namun, uji kompetensi bukanlah hal mutlak. Perlu disadari bahwa menjadi pewarta adalah pilihan. Pilihan pewarta mutlak berkualitas. Wartawan sebagai pekerjaan profesi, maka wajib dituntut profesional.

Dalam berbagai kesempatan, saya sering menyampaikan bahwa ‘Jangan pernah berhenti belajar. Sebab, tak ada wartawan senior. Yang ada hanyalah wartawan tua’. Ungkapan ini bermakna bahwa kita tidak boleh merasa sudah paham atau tahu segalanya. Dengan belajar dan terus belajar, pengetahuan kian terbuka. Tabe’

Tanah Babasal, 28/2/’24’

 

 

Comments
Loading...