Kelaparan Parah di Gaza Renggut Nyawa 15 Anak
JAKARTA, OKENESIA.COM- Kelaparan semakin parah melanda warga Jalur Gaza. Sementara bantuan kemanusiaan yang dijatuhkan dari udara seolah tak ada gunanya, karena militer Israel membantai warga yang antrean mengambil bantuan tersebut.
“Kelaparan melanda warga di kegubernuran Jalur Gaza, dan 2,4 juta warga menderita kekurangan pangan yang parah. Kelaparan semakin parah di kegubernuran Gaza Utara dan Gaza,” ungkap Juru Bicara Kantor Media Pemerintah Palestina, Ismail Abu Tsawabitha, Minggu (3/3/2024).
Akibat bencana kelaparan ini, merenggut nyawa anak-anak. Hingga saat ini, 15 anak telah meninggal akibat kelaparan dan kesehatan yang buruk.
Kekurangan dan dehidrasi mengancam kehidupan lebih dari 700.000 warga Palestina yang menderita kelaparan ekstrem.
“Beberapa negara telah bekerja keras untuk mewujudkan gagasan mengirimkan bantuan melalui udara melalui beberapa pesawat, tetapi semua orang tahu bahwa itu bukanlah cara terbaik untuk memberikan bantuan kepada masyarakat Jalur Gaza,” tutur Ismail.
Ismail berkeyakinan bahwa ada negara-negara yang melakukan serangan udara dengan niat baik. Yakni, menurunkan bantuan kemanusiaan melalui pesawat udara.
Dan ada pula negara-negara yang melakukan serangan udara dengan niat jahat dan licik. Seperti Amerika Serikat dan negara-negara lain, di mana mereka benar-benar berpartisipasi dalam perang dan memasok senjata kepada pendudukan dan memberikan lampu hijau untuk melakukan lebih banyak pembantaian.
Operasi pengiriman bantuan melalui udara dan menutup mata terhadap pengiriman bantuan dari jalur darat sebut Ismail, dilakukan dalam konteks menghindari solusi radikal terhadap masalah ini dengan mengikuti metode yang mencolok, propaganda, dan tidak berguna. Pendudukan Israel kata Ismail, mempromosikan kebijakan kelaparan dan mengulur waktu untuk kepentingan. Israel juga memperluas kelaparan hingga menyebabkan kerugian sebesar-besarnya pada masyarakat dan warga Gaza.
Operasi pendaratan bantuan dari pesawat membawa konsekuensi serius bagi rakyat. Hal ini merupakan tantangan besar, karena sebagian dari bantuan ini dijatuhkan di dekat pagar pemisah atau wilayah yang dikuasai tentara Pendudukan Israel atau terletak di wilayah pendudukan Palestina.
“Akibatnya, menjadi sebuah langkah yang menimbulkan risiko kematian dan pembunuhan terhadap kehidupan warga yang berusaha mendapatkan bantuan,” kata Ismail.
Operasi pendaratan bantuan sangat sulit dilakukan di lingkungan padat penduduk seperti Jalur Gaza yang berpenduduk 2,4 juta jiwa. Bantuan airdropping rentan rusak, karena kondisi cuaca atau kecelakaan serius di Jalur Gaza.
Sejumlah bantuan yang dijatuhkan ke laut dan tidak sampai ke masyarakat. Sedangkan transportasi perbekalan bantuan tiba telah mengalami kerusakan.
“Bantuan sangat sedikit dan terbatas. Kapasitas pesawat terbatas dan tidak mencukupi kebutuhan masyarakat sama sekali. Bahkan bantuan tersebut tidak mencakup apa pun, melainkan setetes air di lautan. Kebutuhan yang sangat besar, dan hal ini berbanding terbalik dengan transportasi darat yang dapat mengangkut barang sebanyak-banyaknya,” urai Ismail.
Operasional transportasi udara jauh lebih besar dan lebih mahal dibandingkan operasi transportasi darat yang tidak memakan banyak biaya.
Bantuan yang dijatuhkan melalui udara sama sekali tidak mencapai keadilan, karena proses ini mengharuskan 2,4 juta orang turun ke jalan kemudian mengejar bantuan yang tidak sampai ke tempat yang aman, dengan cara yang tercela, memalukan dan tidak manusiawi,” ungkap Ismail Abu Tsawabitha. (top/**)