Kilas Balik Lahirnya Lambang Kabupaten Banggai (Bagian 3-Habis)

0

BANGGAI, OKENESIA.COM- Kabupaten Banggai sudah berusia 64 tahun. Setiap tanggal 8 Juli, peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) dilangsungkan meriah oleh Pemda Banggai. Namun, di balik kemeriahan perayaan hari jadi kabupaten bermotto ‘Momposaangu Tanga Mombulakon Tano’, belum pernah dikisahkan siapa sebenarnya perancang lambang daerah ini. Bahkan, sang perancang lambang daerah semasa hidupnya hingga mangkat, Madcholil tak pernah menerima penghargaan atas jasanya.

Untuk memperkenalkan kepada khalayak kisah di balik rancangan lambang daerah ini, Okenesia.com ingin mencantumkan tulisan Madcholil yang diketiknya pada tahun 1993 atau empat tahun sebelum ia berpulang. Madcholil, sang guru Bahasa Inggris di PGA Muhammadiyah Luwuk itu menghadap Sang Penguasa Alam pada tahun 1997.
Tulisan ini murni mengutip tulisan Madcholil, sang perancang lambang Kabupaten Banggai. Di teks itu, tertanggal 19 Juni tahun 1993 di Palu. Madcholil menutupnya dengan membubuhkan tandatangan.
Berikut tulisan Madcholil.
Epilog Lahirnya Lambang
Pada suatu hari, tanggal dan bulannya yang sudah dilupakan, cuma tahunnya pasti 1968, seorang guru PGA Muhammadiyah (Madcholil, red) didatangi oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah dalam suatu kelas yang sedang memberikan pelajaran Bahasa Inggris, seusai memberikan salam pak pimpinan yayasan itu memintakan kesediaan kalau-kalau sang guru dapat meninggalkan kelas sejenak, sebab ada suatu masalah dengan bapak Komandan Resort 1910 Banggai yang saat itu dikomandoi oleh bapak A. Kaparang, untuk menyelesaikan suatu urusan.
Serasa disambar petir mendengar keterangan bapak pimpinan Muhammadiyah yang saat itu dijabat oleh Bapak Uthman Makmür (alm) sang guru ini harus menghadap dan berurusan dengan pihak kepolisian. Dengan perasaan heran pertanyaan pun muncul dari sang guru, “Urusan apa ya pak, sedangkan seingat saya, saya tidak pernah membuat kesalahan maupun pelanggaran?” Di jawab pak Usman, “Sayapun belum tahu pasti, tapi yang penting mari kita segera ke kantor Dan Res.” Pak guru jawab lagi, bahwa pihaknya tidak ada keberatan, hanya pak guru harus menyelesaikan dahulu mata pelajaran yang diberikan, sementara pak Usman harus menunggu sejenak di kantor sekolah.
Dalam perjalanan kaki kami berdua menuju kantor polisi, tidak terasa telah sampai di kantor Dan Res. Sebab dalam perjalanan kami selingi dengan pembicaraan yang aktual tentang perkembangan pendidikan di kalangan organisani Muhammadiyah di Kabupaten Banggai ini.
Tidak lama berselang setelah kami duduk di ruang tunggu seorang anggota Polri telah mempersilahkan kami menghadap bapak Dan Res. Dialogpun terjadi. Singkatnya bapak Dan Res memintakan kesediaan kepada sang guru untuk membuat desain pataka kepolisian khusus Kores 1910 Banggai kala itu.
Dari uraian pembicaraan yang panjang lebar itu, sang guru mengusulkan kepada Dan Res untuk memperoleh salah satu kriteria penciptaan lambang, ialah keterangan tentang sejarah Banggai, secara tertulis ataupun lisani sebab pak guru belum pernah membaca atau mendengarnya, disebabkan saat itu belum tersedia literatur tertulis, Bapak Dan Res pun berinisiatif akan mengundang sesepuh daerah yang sanggup memunculkan sejarah daerah dimaksud.
Sesepuh daerah yang menjadi acuan yang dapat diharapkan mampu mengungkap rahasia ini adalah bapak S. Amir (alm.). Saran bapak S. Amir yang saat itu akrab disebut rakyat Banggai dengan sebutan Pale Raja; kita harus mengadakan pertemuan semacam sarasehan ke Kecamatan Batui.
Pada suatu hari lahir team untuk berangkat ke sana. Team tersebut terdiri dari bapak S. Amir sebagai pramakarsa, bapak S.A. Amir (alm) seorang tokoh adik beliau, bapak A.Kaparang (beliau sudah purnawirawan masih sehat dan tegar tinggal di Manado) sebagai yang empunya hajat, bapak Usman Makmur sebagai tokoh, penulis yang saat itu sebagai pak guru perencana desain pataka, sdr. Pon Lengkas sebagai sopir Dan Res. Setiba di Batui, pinatua dan tokoh masyarakat sebagai sesepuh telah berkumpul menantikan kedatangan rombongan dari Luwuk.
Musyawarahpun segera terlaksana yang dari keputusannya penulis dapat simpulkan dalam gambar pataka berupa warna dasar perisai merah, gunung Tompotika, burung maleo, pohon kelapa, kulit mutiara dan semboyan/motto yang diusulkan bapak Raja, bahasa “NONGKULIBANG” yang artinya kurang lebih mengelola kopra.
Dimaksudkan selain bahasa tersebut dimengerti dan menjadi kesatuan bahasa dari seluruh etnis atau suku yang tinggal di seluruh pelosok daerah Banggai, juga diartikan sebagai lukisan sebagian besar rakyat Banggai hidup dari hasil mengelola kopra di waktu itu, mengingatkan kita akan tulisan Bhinneka tunggal ika yang terdapat pada lambang negara, maka tulisan HONGKULIBAIG kami lukiskan di atas pita.
Seusai pertemuan kamipun bersiap pulang ke Luwuk, kita seluruhnya sudah siap di atas mobil, tiba-tiba teringat oleh sang pencipta pataka; bahwa burung maleo yang akan dilukiskan belum dikenal bentuk dan warnanya. Terpaksa pak komandan si pramakarsa harus turun dari mobil menemui Dan Sektor Batui untuk memerintahkan anggota Polri menangkap burung maleo hidup atau mati segera dikirim ke alamat si pencipta pataka di Luwuk.
Dengan kuasa dan pertolongan Allah, kami tiba di Luwuk hampir bersamaan dengan datangnya burung maleo yang masih hidup walaupun kedua matanya hilang oleh tembusan peluru.
Alasan Madcholil Kembali Menuangkan Tulisan Sejarah
Pak…. pak… betulkan bapak yang menciptakan lambang daerah Kabupaten Banggai?
Cerita ini diawali dialog antara seorang anak wanita dengan bapaknya sepulang dari sekolah. Setelah tiba di rumah dengan agak tergopoh-gopoh diiringi sifat ingin tahunya, maka anak yang dipanggil hariannya Nunung seusai memberikan salam ia melontarkan kalima tanya,, singkat. “Pak…. pak… betulkah bapak yang menciptakan lambang daerah Kabupaten Banggai?. Si bapak agak bingung bengong dan rasa ragu. Bahkan, ganti melontarkan kembali pertanyaan anak yang kecapaian dari sekolah itu. “Dari siapa engkai mengetahui hal itu?”
Jawabnya, “Tapi, teman-teman di kelas bertanya tentang pencipta lambang daerah tersebut. Guru PMP yang saat itu diberikan oleh Bapak KL. Harlina menyebutkan bahwa anak si pencipta berada di kelas ini. Karuan saja teman-temannya saling berpandangan untuk mencari jawabannya. Sembari berputar pandang yang diliputi tanda tanya itu Pak KL. Madina menyebut nama bapak. Setahuku sambung guru itu,,, pencipanya tak lain dan tak bukan ialah bapak Madcholil.
Bapak pun menjawab bahwa bila yang mengatakan hal tersebut Pak KL. Madina itu betul. Sebab, Pak Madina adalah termasuk saksi mata sewaktu bapak kerjakan desain lambang tersebut di Kantor Departemen Agama tempat bapak kerja dahulu, tukas bapak meyakinkan kebenarannya.
Peristiwa itu berlangsung empat tahun berselang dan bapak belum bergeming untuk berbuat sesuatu, namun peristiwa serupa terjadi ketika adik Nunung yang disebut Wiwik Hidayati sepulang kuliah mengajukan pertanyaan yang sama dengan yang diajukan Nunung empat tahun lalu.
Bapak pun belum memberikan jawabannya, melainkan melontarkan pertanyaan, siapa yang menyampaikan berita itu.
Jawabnya, “Tadi sewaktu saya istirahat studi bersama teman-teman di bawah rindang pepohonan sekitar kampus, datanglah dosen saya sambil menunjuk saya dan melontarkan bahasa, “Hei, anak-anak, jangan sembarang pada si Wiwik ini, yaa…!” jawab teman-teman serentak, “Memangnya ada apa sih dengan Wiwik, pak…?” ada seorang teman nyelonong menyelai pembicaraan mereka, “Mentang-mentak si Wiwik sang juara kampus yang segera akan menerima beasiswa itu bapak sebut-sebut lagu, kami kan sudah tahu semua, pak…. tawa ejekan pun segera meledak. Situasi jadi riuh, namun segera menjadi lengang setelah pak dosen itu melanjutkan keterangannya, “Bukan hal itu yang ku maksud,” tapi hal apa lagi yang tahu tentang Wiwik yang kecil ini, pak?” tukas seorang teman…
“Dia ini anak seorang tokoh,” sebut sang dosen. Suasana pun semakin tegang, sebab teman-teman sekitarnya lebih ingin mengetahui cerita sang dosen sambil posisi berdiri mereka makin merapa pada sang dosen yang baru datang itu.
Wiwikpun merasa kena pelonco dan dengan rasa malu iapun beringsut hendak keluar dari kerumunan teman-temannya, tetapi sang dosen menahannya sambil berjanji hendak melanjutkan cerita tentang hal ikhwal penciptaan lambang daerah versi sang dosen kepada kawan-ka wan Wiwik yang penulis tidak tahu pasti alur cerita selanjutnya.
Bapakpun ingin menjawab pertanyaan Wiwik, tetapi timbul semacam rasa ragu sebelum mendapatkan keterangan siapa gerangan dosen yang membongkar rahasia ini. Sambil beringsut dari tempat duduknya, bapakpun berdiri sembari melon tarkan pertanyaan kepada Wiwik, “Siapa nama dosenmu yang sempat memberi pan jelasan panjang lebar tentang masalah ini?” Jawab anak yang perdiam itu de ngan singkat “Bapak Drs. H. Saleh Abdullah, pak”
Dalam posisi berdiri sambil merunduk bapakpun tidak segera menjawab, sebab seolah ada sesuatu yang dipikirkan dan diingat-ingatnya. Tidak lama Jawaban bapakpun tercetus sambil mengacungkan telunjuk bapak memberi ketegasan, bahwa penjelasan pak dosen itu betul adanya.
Saudara pembaca.
Mengapa pertanyaan ini harus berulang-ulang timbul, terutama di kalangan keluarga penulis? Konon di tengah masyarakat Luwuk sendiri hal itu masih merupakan misteri, bahkan paling tidak suasanarya sama dengan yang di alami oleh keluarga penulis. Siapa dan siapa…….
Dari kalangan yang belum jelas sumber beritanya bahwa penciptanya belum diberi SK. pengukuhan dari pihak yang berwenang di tempat tinggal sang pencipta itu. Dan yang lebih menarik mengapa harus timbul nama pencipta lain di tengah masyarakat Kabupaten Banggai.
Bertolak dari masalah inilah timbul gagasan penulis mengangkat asal muassal terciptanya lambang daerah Kabupaten Banggai. (**)

Comments
Loading...
error: Content is protected !!