OLEH; H. ISWAN KURNIA HASAN, LC MA
(Pimpinan Umum Okenesia.com & Direktur Alqura Institute Banggai)
OKENESIA.COM- Allah Swt. menjelaskan target utama disyariatkannya puasa di bulan Ramadan dalam surat Al-Baqarah ayat 183, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan bagimu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan bagi orang sebelum kamu, agar kamu menjadi orang yang bertaqwa.” Ketaqwaan adalah target utama puasa. Sehingga manusia yang berhasil menjalani Ramadan, adalah manusia yang muncul ketaqwaan dalam dirinya saat Ramadan dan setelah Ramadan.
Sederhananya, kalau kita ingin mengukur indikasi keberhasilan Ramadan, maka parameter utamanya adalah taqwa. Bila taqwa muncul maka Ramadan dianggap berhasil. Bila tidak, maka butuh Ramadan kembali di tahun depan untuk menciptakan takwa kembali.
Sahabat Ali bin Abi Thalib ra. pernah memberikan indikator ketaqwaan yang ada dalam diri seseorang, “Indikator takwa adalah tumbuhnya rasa takut (khauf) kepada Allah Swt, mengamalkan apa yang telah diturunkan Allah Swt, rela dan ikhlas menerima bagian sekalipun sedikit dan menyiapkan diri untuk menjalani alam lain setelah alam dunia.”
Indikasi pertama manusia taqwa atau manusia yang berhasil menjalani Ramadan dengan baik adalah tumbuhnya rasa takut kepada Allah Swt. Inilah hakekat yang sering disampaikan Rasulullah kepada para sahabatnya untuk memberikan peringatan bahwa rasa takut hanya diberikan kepada Allah Swt. Bukan kepada yang lain. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Sahabat Abu Hurairah ra., Rasulullah Saw. bersabda, “Kalau seandainya kalian mengetahui apa yang telah aku lihat, niscaya kalian akan sering menangis dan sedikit tertawa.”
Rasa takut kepada Allah Swt. membuat seorang manusia selalu merasakan kehadiranNya di setiap waktu. Ia mampu merasakan ada sebuah Dzat yang senantiasa mengevaluasi setiap amalnya. Sehingga tidak ada kata lain kecuali hanya taat kepada Allah Swt.. Bila rasa takut ini terbangun, tidak perlu membuat ribuan perangkat hukum. Tidak perlu lagi mengeluarkan milyaran rupiah untuk dana keamanan dan ketertiban. Karena rasa takut kepada Allah Swt. akan menciptakan orang-orang yang bertindak sesuai dengan hukum yang disebutkan Alquran dan Sunnah.
Rasa takut seperti inilah yang membuat para sahabat di zaman Rasul, ketika diturunkan larangan khamr hanya dengan kata “fajtanibûh” (jauhilah), lorong-lorong kota Madinah menjadi banjir miras yang dibuang karena telah diharamkan. Semua penduduk yang memegang gelas berisi minuman keras , spontan melemparkannya, sambil berkata, “Kami sudah berhenti wahai Tuhan kami, kami sudah berhenti wahai Tuhan kami, kami sudah berhenti wahai Tuhan kami.”
Sementara rasa takut yang tidak muncul dari hati, tidak akan pernah menghentikan kejahatan. Sekalipun telah dibentengi dengan sistem keamanan tercanggih sekalipun. Amerika Serikat contohnya. Larangan mengkonsumsi alkohol berakhir dengan kegagalan. Pemerintah Amerika pernah mengeluarkan UU pelarangan miras tahun 1919. Kampanye anti miras dan iklan di media massa dilakukan secara gencar dengan biaya 65 juta dollar Amerika. Tapi dalam tempo tiga tahun saja, telah terbunuh 200 jiwa, 500.000 orang ditangkap, denda jutaan dollar harus ditanggung. Akhirnya Amerika kembali mencabut UU miras akhir tahun 1933.
Indikasi kedua manusia Ramadan adalah manusia yang senantiasa menjalankan aturan Allah Swt.. Ibadah saat Ramadan dianggap berhasil, sehingga taqwa mampu bersemayam dalam diri, bila Islam menjadi sumber inspirasi dan aksi. Menjadi manusia muslim yang selamat aqidahnya, benar ibadahnya, teguh akhlaknya, kuat fisiknya, memiliki wawasan luas, mampu bekerja dan mencari nafkah, berguna bagi orang lain, rapi dalam semua urusan, memperhatikan waktu, dan mampu melawan hawa nafsu. Sebagai ciri-ciri dasar seorang yang telah berislam. Atau telah menyerahkan diri untuk mengikuti aturan Allah Swt. dan RasulNya.
Allah Swt berfirman dalam surat Al-An’am ayat 162 sampai 163, “Katakanlah, “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya dipersembahkan untuk Allah. Tiada sekutu bagiNya, demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama menyerahkan diri.”
Margaret Marcus, seorang wanita Amerika beragama Yahudi suatu saat tertarik untuk memeluk agama Islam. Di umurnya 27 tahun, Margaret memutuskan untuk mengucapkan syahadat. Setelah itu, ia terlibat komunikasi intens dengan pemikir Pakistan Abul A’la Al-Maududi dan pemikir Mesir Sayyid Qutb untuk belajar Islam. Ada diskusi dan dialog ilmiah yang terjadi di antara mereka. Margaret kemudian mengganti namanya menjadi Maryam Jameelah setelah berislam.
Setelah lama berdiskusi lewat surat, Maryam memutuskan untuk berkunjung ke sebuah negara yang mayoritas beragama Islam. Tapi betapa terkejutnya ketika ia melihat tipikal masyarakat muslim di hadapannya yang berbeda dengan nilai-nilai yang disampaikan oleh Abul A’La Al-Maududi dan Sayyid Qutb dalam surat-surat mereka. Ia kemudian memberikan pernyataan yang sangat viral, “Alhamdulillah yang telah mengajarkan saya Islam terlebih dahulu, sebelum saya mengetahui kondisi masyarakat muslim yang sebenarnya.”
Maryam akhirnya lebih fokus kepada ajaran Islam dan mengabaikan lingkungan Islam di sekitarnya. Ia kemudian menetap di Lahore dan menjadi seorang penulis. Ia tetap istiqamah sebagai seorang muslimah sampai akhir hayat.
Indikasi ketiga adalah ridha terhadap bagian yang diberikan Allah Swt.. Tidak pernah rakus mengejar kenikmatan dunia. Tapi rakus mengejar kekekalan di akhirat. Ramadan adalah latihan untuk menahan nafsu, mengencangkan ikat pinggang, mencari ridha Allah Swt. melalui lapar dan dahaga. Puasa mengajarkan untuk mengurangi dan mengendalikan sifat rakus, serakah, thama’ pada dunia. Puasa adalah sarana latihan untuk meminimalisir konsumsi yang berlebihan, sekalipun dibolehkan oleh syariat.
Inilah yang disebut dengan qanâ’ah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Abdullah bin Amru bin Ash ra., Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Alangkah bahagianya seseorang yang telah berislam, kemudian Allah mencukupinya dengan rezeki, kemudian ia menerima apa yang telah menjadi bagiannya.”
Ketika ada qanâ’ah maka pola hidup konsumtif dapat diminimalisir. Sehingga tidak mendorong seseorang untuk melakukan penipuan, pemalsuan, hanya karena kebutuhan hidup yang terkadang melebihi gaji pokok. Dalam prinsip Islam, tidak ada istilah rumput tetangga lebih hijau dari pada rumput di rumah sendiri. Tapi dalam Islam, walaupun rumput tetangga berhektar-hektar, rumput rumah sendiri yang halal sekalipun hanya sedepa masih lebih indah. Inilah taqwa,yang menjadi tujuan Ramadan itu.
Seseorang yang qanâ’ah akan selalu merasa cukup dengan apa yang telah ia dapatkan. Inilah sebenarnya hakekat kekayaan itu. Kecukupan itu adalah suasana hati, bukan kondisi fisik. Ada yang mungkin sudah sangat kaya dengan materi. Bahkan berlebih. Namun hati yang selalu lapar, membuat materi yang berlebih tetap dianggap kurang. Dalam sebuah hadis Riwayat Imam Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah ra., Rasulullah Saw. bersabda, “Ridhalah terhadap apa yang telah Allah berikan kepadamu. Dengan itu kamu akan menjadi seorang manusia yang paling kaya.”
Indikasi terakhir adalah kekuatan dzikir maut. Seorang manusia Ramadan akan selalu merasakan bahwa Allah Swt. dapat mengambil rohnya, di manapun dan kapanpun ia berada. Kondisi ini membuat dirinya senantiasa harus berbuat baik. Karena ingin Allah Swt. memanggilnya dalam keadaan Iman, Islam, dan Ihsan.
Satu ketika ada beberapa orang yang sedang berkumpul di satu tempat. Rasul Saw. kemudian bertanya, “kenapa mereka berkumpul? Mereka menjawab, “Karena ada kuburan yang sedang digali. Terkejutlah Rasulullah Saw. mendengar hal tersebut. Beliau lalu bersegera ke tempat itu. Kemudian beliau berdiri di depan kuburan. Air matanya bercucuran sampai membasahi janggutnya. Beliau kemudian berpesan, “Wahai saudaraku, seperti hari inilah maka kalian harus mempersiapkan diri. Seperti kematian inilah, kalian harus mempersiapkan diri” (HR. Ibnu Majah).
Manusia taqwa adalah manusia yang selalu siaga terhadap kematian. Sehingga semua siklus hidupnya bergerak dan beraktivitas sesuai dengan kesiagaan tersebut. Inilah realita kondisi para sahabat yang menemani Rasulullah Saw. Sahabat Abu Darda ra. pernah berkata: “Ada tiga hal yang membuatku tertawa, dan tiga hal yang membuatku menangis. Tiga hal yang membuatku tertawa adalah seseorang yang terus mengharapkan dunia, sementara mati senantiasa membayanginya. Seorang yang lalai, sementara ia tidak pernah dilupakan oleh Allah Swt.. Seorang yang masih bisa tertawa terbahak-bahak sampai memenuhi mulutnya, sementara ia tidak pernah mengetahui, apakah amalnya telah diridhai Allah Swt? atau justru Allah malah membencinya. Sementara tiga hal yang sering membuatku menangis adalah berpisah dengan Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya, berdiri di hadapan pengadilan Allah Swt., sebuah hari ketika semua yang kita rahasiakan ditampakkan oleh Allah Swt dan satu keputusan yang masih belum jelas sampai saat ini apakah kita akan dimasukkan ke dalam surga atau dijebloskan kedalam neraka”
Empat indikasi ketaqwaan inilah target dari puasa di bulan Ramadan. Bila rasa takut kepada Allah telah muncul di alam bawah sadar, bila aturan Allah Swt. yang tertuang dalam Alquran dan Sunnah mampu teraplikasikan dengan baik, bila hati selalu ridha, lapang dan nyaman terhadap semua bagian dunia yang telah Allah berikan, dan selama 24 jam yang selalu teringat adalah kehidupan setelah dunia dan membuat kita mempersiapkannya dengan baik, maka berbahagialah kita telah menjadi manusia taqwa itu.
Puasa kita berarti telah berbuah. Salat Tarawih kita berarti telah mencapai tujuan. Bila tidak, maka jangan-jangan Ramadan, hanya kembali menjadi ritual yang harus kita jalani setiap tahunnya, tanpa ada taqwa yang membekas dalam jiwa dan teraplikasikan di kehidupan nyata. (***)