OLEH: ANDI ANNISA
(Anggota Forum Lingkar Pena Gowa)
Bagi seorang anak laki-laki, cinta sejatinya adalah ibu. Bagi seorang anak perempuan, cinta pertamanya adalah ayah. Meski dengan kulit pekat terbakar matahari, ayah tetap gagah dalam mencari nafkah. Tak hanya ayah, kakak laki-laki pun kerap dianggap layaknya malaikat penjaga.
Rasanya jika ada mereka, dunia tidak akan menakutkan seperti kata orang.
Kasih sayang ini tentu diinginkan setiap anak dan perempuan. Lantas, bagaimana jika cinta itu telah salah arah dan salah kaprah? Yang didapati bukan lagi sentuhan kasih sayang melainkan penyimpangan seksual berupa inses, parafilia, atau bahkan pedofilia? Itulah yang terjadi melalui viralnya berita seputar grup inses “Fantasi Sedarah”.
Terkuaknya grup Fanspage Fantasi Sedarah yang beranggotakan lebih dari 32 ribu orang ini cukup membuyarkan visualisasi indah kita tentang kehidupan rumah.
Betapa tidak, grup ini tanpa malu membahas orientasi seksual menyimpang dengan penyalurannya terhadap anggota keluarga sendiri (inses).
Parahnya, data Komnas Perempuan dalam CATAHU 2022 menunjukkan bahwa dari 2.363 kasus kekerasan terhadap perempuan, inses menduduki posisi ketiga dengan 433 kasus atau setara 18 persen dari total kasus kekerasan seksual dalam ranah personal.
Di tahun 2024, terdapat 4.599 kasus kekerasan seksual pada anak yang terjadi dalam ruang lingkup rumah tangga.
Ada beberapa hal yang harus kita perhatikan dalam kasus Fantasi Sedarah ini. Sutherland melalui karyanya yang berjudul “Principles of Criminology” mengatakan bahwa perilaku kriminal berasal dari faktor-faktor individual seperti dorongan instinktif atau kelemahan moral. Menurut Sutherland, perilaku kriminal dipengaruhi oleh proses belajar yang terjadi dalam konteks sosial.
Maraknya perilaku inses, parafilia hingga pedofilia disebabkan oleh proses belajar dari interaksi dan konsumsi media yang telah memamerkan gaya hidup liberal yang begitu bobrok. Industri libido bahkan masih bebas akses. Komunitas grup online yang mewadahi perilaku menyimpang ini mudah saja merebak dan merangsek ke ruang gelap dunia maya. Meta pun luput jika penggunanya menggunakan bahasa lokal yang tak mampu dikenali oleh sistem deteksi otomatis.
Kondisi rusaknya ketahanan keluarga makin diperparah dengan minimnya pemahaman agama anggota keluarga. Sosok orang tua yang harusnya mendidik, malah sibuk menghardik. Anggota keluarga yang harusnya diberi hati, simpati, dan empati, malah dilucuti.
Makin merebaknya kasus inses dan kekerasan seksual pada anak menunjukkan sistem sanksi dan penegakan hukum di negeri ini masih gagal menimbulkan efek jera.
Himpitan ekonomi di tengah kehidupan kapitalis dan gaya hidup materialis menjadikan masyarakat menghalalkan segala cara demi meraup pundi-pundi rupiah, termasuk dengan memperjualbelikan video tak senonoh di grup Fantasi Sedarah tersebut. Mati empati disayat syahwat bejat ala korporat.
Mengapa industri libido dengan tayangan pornonya masih bebas beredar bahkan menjadi tayangan yang muda diakses di dunia maya? Tentunya karena masih ada konsumen yang menginginkan itu sebagai alat pemuas nafsu bejatnya.
Para ekonom kapitalis menganggap bahwa barang masih memiliki nilai guna (utility) jika masih ada yang menginginkan. Dengan kata lain, mereka memandang kebutuhan dan kegunaan (utility) apa adanya, bukan sebagaimana mestinya. Jadi, mereka hanya memandang kegunaan (utility) itu dari segi kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan.
Inilah rusaknya sistem ekonomi kapitalis.
Kita pastinya menginginkan solusi yang mampu menjaga anak dan kaum perempuan dari tindakan amoral seperti ini. Jika kita merujuk bagaimana Islam mencegah kasus sensualitas sedarah ini, maka akan didapati solusi kuratif dan preventif yang solutif. Ibn Qudamah al-Maqdisi dalam kitabnya Al-Mughni menyebutkan bahwa ada dua pendapat mengenai had/sanksi bagi pelaku zina terhadap mahram.
Pertama, diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa pelakunya dihukum mati dalam setiap keadaan. Riwayat kedua menyebutkan bahwa hukuman bagi pelaku adalah seperti hukuman penzina (berupa rajam bagi yang telah menikah atau cambuk 100 kali bagi yang belum menikah).
Pendapat ini dipegang oleh al-Hasan, Malik, dan asy-Syafi’i. Sanksi sekeras ini tentu akan memberi efek jera dan mampu hadir sebagai tindakan kuratif.
Dalam kehidupan bermasyarakat, negara tak boleh sedikit pun memberi celah beredarnya mendia informasi yang mampu merusak akidah, termasuk tak ada kompromi berdirinya industri libido.
Negara juga wajib menjaga akidah masyarakat dan mengadakan kurikulum berbasis akidah agar tercipta generasi yang ber-syaksiyah Islam. Aktivitas amar makruf nahi munkar sebagai aktivitas social control pun tak boleh luput sebagai aktivitas mulia di tengah masyarakat.
Pada intinya, dibutuhkan ketakwaan individu, masyarakat yang menghidupkan spirit amar makruf nahi munkar, negara yang melindungi dan menerapkan sanksi tegas, hingga diterapkannya syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan adalah solusi untuk menyudahi segala bentuk penyimpangan seksual. Tentu hal ini akan terwujud jika Islam diterapkan secara kaffah. Wallahu a’lam