OLEH: NURUL HAKIM LAMARANGINANG
(Aktivis Muslimah)
Penambangan Nikel di Raja Ampat mengakibatkan kerusakan lingkungan yang signifikan. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengungkapkan bahwa terdapat banyak pelanggaran serius terkait kegiatan penambangan nikel yang dilakukan oleh empat perusahaan yang menjadi objek pengawasan KLH, yakni PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymond Perkasa (tirto.id). Bahlil Lahadalia selaku Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama Kementerian LH dan Kehutanan telah melakukan pencabutan izin tambang keempat perusahaan tersebut sesuai dengan keputusan Presiden Prabowo dalam rapat terbatas pada Senin (9/6/2025) (kompas.com).
Meski pencabutan izin telah dilakukan, polemik belum berakhir. Publik mempertanyakan bagaimana izin tersebut bisa terbit di wilayah yang secara hukum tidak boleh ditambang. Pemberian izin tambang kepada sejumlah perusahaan di wilayah yang seharusnya dilindungi memunculkan dugaan adanya praktik kolusi antara otoritas pemberi izin dan penerima izin. Kepulauan Raja Ampat tergolong sebagai pulau-pulau yang mendapatkan perlindungan hukum melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007.
Penambangan nikel di Raja Ampat telah mengancam keanekaragaman hayati yang bernilai tinggi dan diakui oleh komunitas. Selain itu, aktivitas tambang di kawasan ini memperlihatkan pengabaian terhadap prinsip-prinsip keberlanjutan, serta menunjukkan lemahnya komitmen terhadap lingkungan ekosistem yang seharusnya menjadi prioritas utama, terutama di wilayah yang memiliki status konservasi dan signifikansi ekonomi global.
Kegiatan penambangan nikel di Raja Ampat bukan sekedar persoalan administratif, melainkan potret terang dari kerusakan sistemik akibat dominasi kapitalisme. Sistem ini menjadikan Sumber Daya Alam (SDA) hanya sebagai komoditas yang bisa dieksploitasi tanpa mempertimbangkan dampak ekologis maupun hak masyarakat lokal. Ketika alam dijadikan ladang untung, maka kehancuran bukan lagi kemungkinan, melainkan keniscayaan.
Sistem ekonomi kapitalisme berlandaskan pada kepemilikan individu dan orientasi keuntungan sebesar-besarnya mendorong aksi eksploitatif tanpa batas. Kerusakan lingkungan diperlakukan sebagai efek samping yang bisa diabaikan, bahkan jika harus melanggar amanat undang-undang sekalipun. Tindakan ilegal ini merupakan wajah asli sistem kapitalisme, dimana kekuatan uang pengusaha dan hubungan dekat dengan pemerintah mampu mengubah hukum sesuai kepentingan mereka. Izin tambang yang dicabut pun bisa dibatalkan begitu publik teralihkan perhatiannya. Lantas, siapa yang sebenarnya bisa dipercaya di bawah kekuasaan sistem yang sedemikian korup ini?
Ketika sistem ini berjalan tanpa kendali, bukan hanya lingkungan yang menjadi korban, tetapi juga masyarakat yang hidup di sekitarnya. Hak-hak rakyat terabaikan, suara mereka dibungkam oleh dominasi korporasi dan elit politik yang saling menguatkan. Kebijakan publik pun seringkali dibuat untuk mengakomodasi kepentingan modal, bukan untuk melindungi keberlanjutan dan kesejahteraan bersama. Akibatnya, ketimpangan sosial semakin melebar, sementara kerusakan alam terus berlanjut tanpa ada pertanggungjawaban nyata.
Inilah akibat saat manusia membuat hukumnya sendiri. Manusia secara fitrah memiliki naluri untuk mempertahankan kepentingannya, namun tanpa kendali yang benar, naluri itu mudah berubah menjadi keserakahan, ambisi untuk menguasai, dorongan nafsu yang tak terbendung, dan eksploitasi. Rasulullah saw. telah mengingatkan:
“Seandainya anak Adam mendapatkan dua (buah) lembah yang penuh dengan harta kekayaan, tentu dia masih menginginkan yang ketiga. Dan tidak ada yang bisa memenuhi rongga (keinginan) anak Adam, kecuali tanah (mati). Dan Allah berkenan memberikan taubat kepada orang yang bertaubat.” (HR Bukhari)
Kenyataan menunjukkan bahwa sistem kapitalis tersebut dibangun sekedar untuk memperturutkan keinginan dan keserakahan segelintir orang. Ia tidak dibentuk untuk mengatur kepentingan umat secara adil, melainkan untuk membuka jalan selebar-lebarnya bagi eksploitasi sumber daya dan manusia, selama itu mendatangkan keuntungan.
Sistem ini tentu bertolak belakang dengan sistem Islam. Dalam pandangan Islam, SDA merupakan milik umum yang tidak boleh dimonopoli oleh individu maupun korporasi. Negara bertanggung jawab mengelolanya secara adil dan mengembalikan hasilnya untuk kepentingan rakyat. Selain itu, Islam juga menjamin kelestarian lingkungan dan keseimbangan ekosistem sebagai kewajiban syar’i sebab kerusakan alam akan berdampak langsung terhadap keberlangsungan hidup manusia dan generasi setelahnya. Dengan prinsip ini, Islam tidak hanya menawarkan solusi teknis, tetapi juga visi moral yang menjamin keadilan, keseimbangan, dan keberlanjutan. Allah SWT telah melarang manusia untuk melakukan tindakan melampaui batas, diantaranya adalah merusak lingkungan:
“Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi sesudah bumi itu Allah perbaiki. Berdoalah kalian kepada Dia dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sungguh rahmat Allah amat dekat dengan kaum yang berbuat baik (TQS al-A’raf [7]: 56).
Berdasarkan ayat di atas, syariat Islam telah memberi batasan kepada manusia untuk memanfaatkan alam semesta, yakni dengan tidak menyebabkan kerusakan. Oleh karena itu, Islam memiliki konsep hima sebagai bagian dari syariat, yaitu kawasan hutan lindung yang ditetapkan oleh negara atau otoritas untuk menjaga kelestarian lingkungan dan mencegah eksploitasi. Rasulullah saw. sendiri menerapkan konsep ini di kawasan Madinah demi menjaga pasokan air dan pakan ternak. Konsep ini menunjukkan bahwa Islam lebih progresif dalam menjaga keseimbangan ekologis, bahkan jauh sebelum isu lingkungan menjadi perhatian global seperti saat ini.
wallahu a’lam