OLEH: NISWATUL MUKMINAH
(Aktivis Muslimah)
Belum reda riuh pembahasan publik soal kasus nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, kini muncul sengketa baru yang mengusik batas wilayah administratif di ujung barat Indonesia. Empat pulau di wilayah Aceh Singkil ditetapkan menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara, dan keputusan ini sontak memantik gelombang penolakan.
Tak hanya menjadi perbincangan hangat di jagat maya, aksi nyata juga bergema di Banda Aceh. Massa turun ke jalan, menggelar unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Aceh, sembari mengibarkan bendera bulan bintang—simbol perlawanan dan identitas lokal. Mereka menuntut agar Presiden terpilih Prabowo Subianto segera membatalkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri yang dianggap mencederai kedaulatan wilayah Aceh.
_*Keputusan yang Menyulut Aceh*_
Empat pulau kecil di Samudera Hindia—Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek—jadi sorotan setelah keluar Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 300.2.2-2138/2025 pada 25 April lalu. Lewat keputusan itu, keempat pulau yang selama ini dianggap bagian dari Aceh Singkil, tiba-tiba dimasukkan ke wilayah Sumatera Utara.
Respons keras datang dari masyarakat Aceh. Anggota Komisi III DPR RI asal Aceh, Muslim Ayub, menyebut keputusan itu bertentangan dengan Peta Topografi TNI AD tahun 1978 yang menunjukkan keempat pulau tersebut milik Aceh. Ia juga menyoroti potensi besar sumber daya alam di kawasan itu, termasuk migas, serta rencana investasi Uni Emirat Arab—yang diduga jadi alasan utama di balik “pemindahan diam-diam” pulau-pulau itu.
Setelah 52 hari tanpa kejelasan dan makin panasnya opini publik, Presiden Prabowo akhirnya memimpin rapat terbatas secara virtual pada 17 Juni 2025. Hasilnya: keempat pulau dikembalikan ke wilayah administratif Aceh, berdasarkan data resmi yang dimiliki pemerintah pusat.
“Segera diumumkan ke masyarakat agar tidak jadi bahan bikin ramai lagi,” ujar Prabowo dalam keterangan resmi di kanal YouTube Sekretariat Presiden. Ia menekankan pentingnya menjaga ketenangan publik di tengah suasana politik nasional yang sensitif.
*Otonomi Daerah: Celah Kapitalisme yang Menjadi Ancaman*
Perebutan empat pulau antara Aceh dan Sumut bukan sekadar soal batas administratif. Ia menyingkap ulang persoalan mendasar: bagaimana negara mengelola wilayah dan kekayaan alam di era Otonomi Daerah (Otda)?.
Otonomi Daerah (Otda) adalah produk sistem demokrasi sekuler-kapitalis yang berkembang di Barat pasca-revolusi industri. Ia lahir dari gagasan bahwa daerah-daerah harus diberi keleluasaan mengatur urusannya sendiri, termasuk keuangan dan pengelolaan sumber daya. Namun, sistem ini sebenarnya menyimpan bom waktu.
Dengan kewenangan mengatur Pendapatan Asli Daerah (PAD), tiap wilayah berlomba mengeruk potensi alamnya demi pemasukan. Ketika muncul isu cadangan migas di empat pulau kecil yang disengketakan, wajar jika muncul perebutan administratif. Dalam sistem otonomi, wilayah bukan hanya soal batas, tapi juga soal akses terhadap kekayaan alam.
Celakanya, Otda justru menciptakan ketimpangan. Daerah kaya makin makmur, sementara yang miskin tertinggal. Ketimpangan inilah yang bisa melahirkan kecemburuan sosial, hingga pada titik tertentu, bisa menyulut api disintegrasi. Sebuah hal yang tak mungkin terjadi jika sistem pemerintahan bersifat sentralistik, di mana kekayaan alam dikelola negara untuk kemaslahatan seluruh rakyat, bukan per daerah.
Maka, sengketa wilayah seperti yang terjadi antara Aceh dan Sumatera Utara bukan sekadar soal administratif, melainkan gejala sistemik dari arah pembangunan yang menuhankan keuntungan dan menyingkirkan keadilan. Saat wilayah dipertaruhkan demi kepentingan ekonomi, maka disintegrasi bukan hanya ancaman—ia adalah akibat yang diciptakan sendiri oleh sistem.
*_Islam: Sentralistik dan Menyatukan_*
Berbeda dengan sistem Otonomi Daerah (Otda) yang membebaskan setiap wilayah untuk mengelola sendiri sumber daya dan pembangunannya, Islam menetapkan bahwa pengelolaan wilayah dan kekayaan alam harus dilakukan secara sentralistik oleh negara. Negara dalam pandangan Islam bukan sekadar pengatur administratif, tetapi pemikul amanah besar untuk menjamin kesejahteraan seluruh rakyat, tanpa diskriminasi berdasarkan wilayah atau potensi ekonomi lokal. Kekayaan alam seperti minyak, gas, air, dan hutan termasuk dalam kategori milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum), sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api (energi)” (HR. Abu Dawud).
Hadis ini menjadi dasar bahwa hasil alam tidak boleh dimonopoli, diprivatisasi, apalagi diperebutkan antar wilayah seperti dalam sistem Otda.
Al-Qur’an menegaskan bahwa tanggung jawab negara adalah berlaku adil dalam mengatur urusan rakyat. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (QS An-Nahl: 90).
Dalam sistem Islam, pemimpin adalah ra’in (penggembala) dan junnah (perisai) sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
“Imam adalah perisai, di mana orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Seorang khalifah bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pembangunan dan pelayanan tidak hanya terpusat di wilayah yang kaya atau strategis, tetapi menjangkau seluruh umat, termasuk daerah terpencil sekalipun. Ia juga akan dimintai pertanggungjawaban langsung di hadapan Allah atas amanah yang diembannya.
Cendekiawan muslim seperti Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menegaskan bahwa dalam sistem Khilafah, negara bertindak sebagai pengelola tunggal seluruh wilayah, dan pendistribusian anggaran tidak boleh didasarkan pada seberapa besar kontribusi PAD suatu daerah, tetapi pada kebutuhan dan maslahat rakyat. Dalam bukunya Nizhamul Iqtishadi fil Islam, An-Nabhani menjelaskan bahwa kekayaan milik umum wajib dikelola negara dan didistribusikan secara merata. Negara juga tidak boleh menjadikan wilayah kaya sebagai pusat pembangunan semata, sebab hal itu menciptakan ketimpangan dan potensi disintegrasi.
Dengan model ini, potensi rebutan wilayah karena migas atau sumber daya alam lainnya dapat dicegah sejak awal, karena pengelolaan dan hasilnya bukan untuk kepentingan satu daerah atau elite tertentu, tetapi untuk seluruh rakyat. Negara hadir sebagai pengatur yang adil, bukan wasit yang membiarkan kompetisi bebas antarwilayah. Inilah sistem yang tidak hanya menjamin pemerataan secara ekonomi, tetapi juga menjaga persatuan umat atas dasar akidah dan kepemimpinan yang bertakwa.
_wallahu a’lam bishawab_