OLEH: ERVIANA
(Aktivis Muslimah)
Beberapa media menyoroti bahwa pendapatan resmi anggota DPR bisa mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan. Jumlah itu berasal dari gaji pokok Rp4,2 juta, tunjangan rumah Rp50 juta, tunjangan komunikasi, tunjangan kinerja, hingga tunjangan lain seperti beras Rp12 juta dan bensin Rp7 juta. (BeritaSatu.com, 28/08/2025)
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) bahkan melaporkan bahwa total pendapatan seorang anggota DPR bisa mencapai Rp230 juta per bulan. Jumlah ini sungguh kontras dengan kondisi rakyat, mengingat rata-rata upah minimum di Indonesia hanya sekitar Rp3 juta. Dengan demikian, anggota DPR menikmati pendapatan hingga 76 kali lipat lebih besar dibanding rakyat yang seharusnya mereka wakili. (CNBC Indonesia, 1/09/2025)
Di tengah kondisi rakyat yang kesulitan ekonomi, harga kebutuhan pokok naik, maraknya PHK, dan daya beli melemah, angka tunjangan sebesar itu terasa menyakitkan bagi masyarakat.
Banyak pengamat menilai besarnya tunjangan tidak sebanding dengan kinerja DPR yang dianggap rendah, misalnya rendahnya kehadiran dalam rapat paripurna atau minimnya legislasi yang pro-rakyat. Bahkan, beberapa produk hukum yang lahir, seperti UU Cipta Kerja, justru dinilai lebih berpihak pada korporasi daripada rakyat.
Jabatan dalam Pandangan Demokrasi Kapitalisme
Fenomena gaji dan tunjangan besar bagi DPR sejatinya merupakan buah dari sistem demokrasi kapitalisme. Dalam sistem ini, jabatan identik dengan akses terhadap fasilitas dan keuntungan materi. DPR bahkan berwenang membuat regulasi tentang gaji dan tunjangannya sendiri, sehingga potensi konflik kepentingan sulit dihindari.
Politik pun berubah menjadi arena transaksional, bukan lagi sarana untuk melayani rakyat. Tunjangan fantastis dapat mencerminkan bahwa hilangnya empati terhadap penderitaan rakyat yang seharusnya mereka wakili. Sistem ini jabatan dipandang sebagai alat memperkaya diri.
Amanah untuk memperjuangkan kepentingan rakyat bergeser menjadi upaya untuk mempertahankan fasilitas pribadi.
Akibatnya, muncul kesenjangan yang besar antara elit dan rakyat. Wakil rakyat menikmati fasilitas mewah, sementara rakyat yang diwakili justru hidup dalam kesusahan. Hal ini membuat kepercayaan masyarakat terhadap wakilnya semakin menurun.
Lebih jauh lagi, demokrasi kapitalisme melemahkan rasa empati dan tanggung jawab keterwakilan. Jabatan dianggap sebagai sarana memperkaya diri, bukan amanah untuk memperjuangkan kepentingan umat. Sistem ini tidak dapat melahirkan pemimpin yang amanah, tetapi justru politisi pragmatis yang sibuk mempertahankan kursi dan fasilitas.
Hal inilah yang membuat kepercayaan publik terhadap lembaga politik terus menurun karena kepentingan rakyat tidak benar-benar menjadi prioritas.
Dengan demikian, tunjangan DPR yang fantastis bukan sekadar masalah teknis, melainkan buah dari sistem demokrasi kapitalisme yang menempatkan materi sebagai tujuan utama.
Islam: Jabatan Sebagai Amanah
Dalam pandangan Islam, jabatan bukanlah sarana memperkaya diri, melainkan amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sistem Islam menempatkan politik di atas asas akidah, bukan materialisme. Wakil umat dalam Majelis Umat tidak berhak membuat hukum atau menentukan gajinya sendiri, karena semua diikat dengan aturan syariat.
Islam membolehkan pejabat negara menerima gaji, tetapi hanya sebatas kebutuhan wajar (kifayah), tidak berlebihan sebagaimana praktik saat ini.
Pada masa keKhalifahan Umar bin Khattab, beliau hanya mengambil gaji secukupnya, bahkan mengurangi fasilitas demi menjaga empati terhadap rakyat. Umar pernah berkata:
“Bagaimana aku bisa kenyang sementara rakyatku kelaparan?”
Prinsip ini mencegah gaya hidup hedon pejabat sekaligus mendekatkan mereka pada realitas rakyat. Setiap jabatan merupakan amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat, sehingga seorang anggota majelis umat tidak berani menyalahgunakannya. Karena keimanan menjadi benteng moral yang akan mencegah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Anggota majelis umat wajib berkepribadian Islam, menjadikan jabatan sebagai sarana berlomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat), berorientasi pada pelayanan, keadilan, dan maslahah umum, bukan memperjuangkan kepentingan pribadi maupun dalam kelompok politik.
Oleh karena itu, hanya dengan sistem Islam, rakyat dan pemimpin benar-benar dapat disatukan pada satu tujuan, yakni mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh umat.
Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.