HPN; Menggugah Kewarasan

0

OLEH: SUTOPO ENTEDING

“Dulu, setiap hari kita selalu mengejar berita-berita seperti investigatif. Mengejar berita-berita yang sedang trendi atau mengejar kasus-kasus,” begitu kira-kira inti celetukan teman yang bertahun-tahun bekerja sebagai pewarta di koran cetak ketika bercengkerama di sebuah cafe di Luwuk, Kamis (30/1/2025) petang.

Lalu, celetukannya itu saya timpali bahwa kondisi saat ini tidak lagi demikian.

Bak gayung bersambut, rekan pewarta lainnya mengingatkan bahwa sejatinya saat sekaranglah waktu yang tepat mengembalikan ‘marwah’ pewarta sebagai pilar demokrasi. Menghidupkan pemberitaan investigatif di tengah ‘keengganan’ mengulik masalah.

Saya memulai tulisan mungil nan sederhana ini dengan mengungkit kerinduan akan wara-wiri berita menarik yang disuguhkan di hadapan pembaca.

Enam atau tujuh tahun lalu atau bahkan mungkin lebih, pemberitaan di Kabupaten Banggai didominasi sajian koran edisi cetak. Dan sekarang, dominasi pemberitaan secara daring.

Namun, peralihan mode penyajian bacaan, bukan berarti beralih pula model konten berita. Justru, kecepatan penyajian berita online, makin menggugah untuk menukilkan tulisan berkualitas.

Sayangnya, kecepatan buntut ulah kecanggihan teknologi yang dulunya tak mungkin terjadi itu tak mampu dibarengi dengan kualitas pemberitaan.

Arus lalulintas pemberitaan yang disebar melalui link berita sebagian besar menampilkan berita rilis. Masalah? Bukan, tapi marwah pewarta kian hari kian tergerus oleh pewarta itu sendiri.

Minim kemunculan berita tentang kemanusiaan. Ada warga yang kesulitan melaut, karena kondisi cuaca.

Ada yang harus merelakan masa tuanya untuk terus bekerja demi memastikan asap dapur keluarganya terus mengepul.

Ada pula yang tak punya waktu beristirahat menikmati kebersamaan dengan keluarganya, karena harus dipacu oleh keadaan. Dan banyak hal lainnya yang tak tersentuh ‘belaian’ program pemerintah, dan seterusnya. Kondisi-kondisi seperti itu luput dari perhatian.

Dalam beberapa kesempatan bercengkerama dengan rekan-rekan pewarta tak sedikitpun menyentil isu atau konten-konten yang diterbitkan di masing-masing website.

Berbeda, ketika diskusi atau diminta saran atau pendapat. Sudah hal pasti, saya akan menyampaikan tugas pewarta paling utama adalah menyampaikan kebenaran. Atau keberpihakan terhadap kebenaran.

Tidak hanya sebatas menjembatani kepentingan orang ‘besar’ kepada mereka orang ‘kecil’, agar terlihat paripurna. Bukan!!!

Menjembatani kepentingan orang banyak juga tugas utama pewarta.

Beberapa hari yang lalu, seorang pewarta mengirimkan link tulisannya ke gawai saya via aplikasi WhatsApp. Bisa dibilang  tulisan itu semacam feature.

Dengan tulisannya itu, saya mengacungi jempol. Sembari memberi wejangan bahwa insting kemanusiaan itu tidak boleh redup di pewarta, karena itu menjadi napas sebagai penyampai informasi. Marwah wartawan ada di keberpihakannya terhadap kebenaran.

Ada banyak sisi kehidupan masyarakat yang tidak sepenuhnya mendapat perhatian. Bisa jadi, bukan faktor kesengajaan atas kealpaan itu.

Nah, di situlah peran pewarta untuk hadir menjembataninya.

Bukankah organisasi semisal Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu hadir sebagai wadah perjuangan? Artinya, tugas menulis yang melekat di profesi wartawan juga adalah bagian dari perjuangan. Perjuangan kemanusiaan.

Hari Pers Nasional (HPN) yang diperingati setiap tahunnya pada tanggal 9 Februari, tinggal menghitung hari. Sepekan lagi akan diperingati dan tak hanya sekadar refleksi tahunan.

Waraskah kita sebagai pewarta??? Tabe’

Tanah Babasal, 31/1/’25’

Comments
Loading...
error: Content is protected !!