Ketika Penghormatan Salah Alamat!

0

OLEH: RESKIDAYANTI

(Aktivis Muslimah)

Momen kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron pada bulan Mei ke Indonesia menjadi perhatian publik  dan menjadi bahan pemberitaan berbagai media massa.

 

Presiden RI Prabowo Subianto mengucapkan selamat datang kepada Macron beserta delegasinya saat tiba di Indonesia.

Kunjungan ini dinyatakan pak Prabowo sebagai kehormatan besar dan mengingatkan bahwa hubungan antara Indonesia dan Prancis berawal dari saling menghormati.

Dalam penyambutan hangat dan meriah pak Prabowo juga menyampaikan masih banyak peluang baru yang perlu mereka manfaatkan secara bersama (Kompas.com).

Perlu Diingat!

Hubungan antarnegara tidak hanya soal upacara resmi atau hanya karena kepentingan ekonomi semata. Diplomasi yang dilakukan oleh negara merupakan ruang moral, dan  tempat nilai-nilai ditegakkan.  Menyambut seorang pemimpin dengan karpet merah dan penuh penghormatan sepatutnya tidak disertai dengan pengabaian dan menutup mata terhadap jejak kebijakan diskriminatif yang dilakukan terhadap umat Islam. Ini menjadi  penting bagi negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, termasuk Indonesia, untuk tetap menyuarakan keprihatinan terhadap kebijakan-kebijakan yang merugikan umat Islam.

Prancis, sebagai negara dengan sejarah panjang sekularisme, telah beberapa kali menuai kritik keras karena kebijakan-kebijakannya yang dianggap meminggirkan komunitas Muslim. Larangan penggunaan simbol keagamaan di ruang publik, pembatasan terhadap lembaga-lembaga Islam, dan retorika keras para pejabatnya terhadap “separatisme Islam” adalah sebagian kecil dari rangkaian kebijakan yang dituding sebagai bentuk islamofobia terselubung.

Dalam banyak kasus, Muslim di Prancis merasa menjadi korban dari sistem yang secara struktural mencurigai keberagamaan mereka.

Ketika pemimpin negara seperti ini disambut dengan kemeriahan dan kehormatan tanpa catatan kritis, muncul kekhawatiran bahwa diplomasi telah kehilangan sisi etiknya. Apakah penyambutan tersebut mencerminkan keterbukaan dan toleransi, ataukah bentuk pembiaran terhadap kebijakan-kebijakan diskriminatif yang sedang berlangsung?.

Jawabannya terletak pada sistem global hari ini: sekuler kapitalisme. Dalam sistem ini, hubungan antarnegara tidak didasarkan pada nilai benar dan salah, adil atau zalim, tetapi semata-mata pada kalkulasi untung dan rugi. Sistem sekuler memisahkan nilai agama dari kehidupan publik dan pemerintahan, sementara kapitalisme menempatkan manfaat materi sebagai ukuran utama dalam mengambil keputusan. Maka, selama sebuah negara memiliki nilai strategis—baik secara ekonomi, politik, atau militer—maka kezaliman mereka terhadap umat Islam akan diabaikan.

Inilah sebab mengapa negara-negara Muslim bisa bersikap ramah terhadap pemimpin yang secara terang-terangan menindas kaum Muslimin di negaranya sendiri. Sistem ini menanamkan logika bahwa kepentingan ekonomi jauh lebih penting daripada pembelaan terhadap akidah dan umat. Bahkan, luka-luka umat Islam di bawah tekanan kebijakan islamofobik bisa dianggap tidak relevan selama hubungan dagang dan investasi tetap berjalan.

Ini bukan hanya masalah kebijakan luar negeri, melainkan cermin dari rusaknya cara pandang yang dibentuk oleh sistem sekuler kapitalisme. Diplomasi seharusnya menjadi ruang untuk menyuarakan prinsip, bukan tempat untuk menjilat kekuasaan yang menindas. Menyambut pemimpin negara islamofobia seolah tanpa masalah hanyalah memperlihatkan bahwa sistem ini telah kehilangan arah moral, dan hanya tunduk pada kekuatan materi.

Hubungan Diplomatik dalam Islam

Islam tidak membiarkan umatnya bingung dalam menghadapi musuh-musuh agama. Islam telah menetapkan bagaimana bersikap terhadap orang dan negara yang memusuhi agama Allah, apalagi jika mereka membuat kebijakan yang menyengsarakan umat Islam. Dalam ajaran Islam, negara-negara di dunia dibagi menjadi dua: Darul Islam (wilayah yang menerapkan syariat Islam) dan Darul Kufur (wilayah yang tidak menerapkan Islam).

Hubungan dengan negara kufur pun ditentukan berdasarkan posisi dan sikap negara itu terhadap Daulah Islam. Jika mereka memusuhi Islam dan kaum Muslimin, maka sikap tegas, bahkan permusuhan, adalah bagian dari tuntunan syar’i.

Tuntunan ini seharusnya menjadi pedoman utama bagi setiap Muslim, terlebih para penguasa. Apalagi di tengah penjajahan yang terus berlangsung di Palestina, di mana penguasa-penguasa Barat termasuk Prancis justru mendukung penjajahan tersebut secara politik, militer, dan ekonomi. Maka menyambut pemimpin mereka dengan hangat bukan sekadar kekeliruan diplomatik, tapi bentuk nyata penghinaan terhadap penderitaan umat dan pengkhianatan terhadap Islam.
Solusi bagi umat bukanlah perbaikan parsial dalam sistem sekuler kapitalisme, melainkan mencampakkan sistem tersebut dan kembali kepada sistem Islam yang menyeluruh—Khilafah. Hanya dengan sistem ini, umat Islam dapat bersikap tegas terhadap musuh-musuhnya, membela kaum Muslimin yang tertindas, dan memulihkan kembali kehormatan Islam di panggung dunia. Sudah saatnya umat Islam sadar bahwa hanya dengan kembali kepada aturan Allah-lah kemuliaan dan perlindungan sejati akan terwujud.

Apa yang kita saksikan hari ini bukanlah diplomasi yang bijak, melainkan hasil dari sistem yang rusak. Sistem sekuler kapitalisme telah melahirkan generasi pemimpin yang mengabaikan prinsip dan hanya mengejar kepentingan. Selama sistem ini tetap menjadi fondasi politik global, umat Islam akan terus menjadi korban—tidak hanya di negara-negara barat, tapi juga oleh kelengahan dan kompromi dari negara-negara Muslim sendiri. Sudah saatnya kita mempertanyakan dan menolak sistem ini, dan kembali kepada sistem yang menempatkan keadilan, akidah, dan pembelaan terhadap umat sebagai prioritas utama.

Comments
Loading...
error: Content is protected !!