Potret Buram Kehidupan Warga di Desa Penghasil Migas
Kehadiran investasi migas dan investasi khazanah sumber daya alam lainnya di Kabupaten Banggai nampaknya belum sepenuhnya dimaksimalkan untuk mewujudkan kebutuhan infrastruktur masyarakat. Cukup banyak bukti miris kondisi infrastruktur semisal jalan dan tak tersedianya jembatan penghubung untuk kebutuhan menjangkau akses. Lebih mirisnya lagi, kebutuhan infrastruktur yang tidak tersedia itu berada di kawasan produksi migas. Berikut laporannya.
OLEH: SUTOPO ENTEDING-Batui Selatan, Banggai
Siapa yang tak kenal Kabupaten Banggai? Kabupaten yang terletak di kawasan Timur Provinsi Sulawesi Tengah ini dikenal sebagai daerah penghasil migas. Tak hanya migas, kekayaan sumber daya alamnya, semisal nikel juga ada di kabupaten bermotto ‘Momposaangu Tanga Mombulakon Tano’.
Kucuran keuangan bersumber dari Dana Bagi Hasil (DBH) Migas untuk Kabupaten Banggai dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. DBH Migas tahun 2023 berjumlah Rp287.872.163.000. DBH migas tahun 2022 ke tahun 2023 bertambah sekitar Rp106 miliar atau tepatnya Rp106.660.669.000. Praktis, selama kurun waktu empat tahun, DBH Migas untuk Kabupaten Banggai sudah mencapai Rp789 miliar lebih. Angka yang cukup besar, bukan?
Meskipun nominal anggaran yang melekat menjadi penguat Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Banggai itu seolah belum mampu menanggulangi kebutuhan infrastruktur kebutuhan orang banyak.
Salah satu contohnya adalah kebutuhan jembatan. Warga Dusun Tumpu Jaya I dan Tumpu Jaya II, Desa Sinorang, Kecamatan Batui Selatan, Kabupaten Banggai masih memanfaatkan rakit sebagai jembatan penyeberangan.
Okenesia.com menyaksikan aktivitas warga Dusun Tumpu Jaya itu memanfaatkan jembatan penyeberangan. Bentuknya seperti rakit. Rakitnya bukan terbuat dari bambu seperti kebanyakan orang untuk mengangkut hasil panen kebun menyusuri aliran sungai.
Rakit dengan lebar sekira 1,5 meter dan panjang 2,5 meter terbuat dari papan yang cukup tebal. Di bawah papan yang berjejer dipasangi pelampung rakit, semacam drum plastik. Drum plastik itu untuk tetap memastikan rakit itu mengapung.
Rakit inilah yang dijadikan sebagai jembatan mengangkut roda dua dan pejalan kaki. Arif, warga Desa Sinorang ini bertugas menjalankan rakit. Ada dua tali melintas di sungai dengan lebar sekitar 30 meter. Dua tali melintas di sungai itu diikatkan di pohon besar itu diikatkan di rakit, agar rakit itu tetap berada di jalur lintasan. Untuk mengoperasikannya, Arif tetap berada di atas rakit, lalu menarik tali tersebut menyeberangi sungai.
Rakit ini melintasi dua desa menjadi penghubung antara Desa Ombolu dan Desa Sinorang. Jika ada penumpang pejalan kaki atau motor, baik dari dua desa itu, maka Arif langsung bergegas menjemput atau mengantarkannya menuju seberang.
Baim, warga Dusun Tumpu Jaya I, Desa Sinorang salah satu pengendara motor matic ini salah satu pengguna rakit penyeberangan. Kepada Okenesia.com, Rabu (20/9/2023) Baim mengaku, memanfaatkan rakit penyeberangan itu menjadi salah satu alternatif. Sebab, memanfaatkan jalur darat aksesnya terlalu jauh. “Ada jalan lain, tapi memutar jauh,” ungkap Baim.
Tak hanya warga yang memanfaatkan rakit penyeberangan itu, tapi siswa/siswi SMP dan SMA juga saban hari pergi dan pulang bersekolah memanfaatkan rakit tersebut. Di Dusun Jaya I, Desa Sinorang hanya terdapat fasilitas sekolah dasar. Sementara SMP terletak di Desa Ombolu dan SMA berada di Desa Sukamaju I, Kecamatan Batui Selatan. “Kasian pak kalau anak-anak sekolah, kalau sungai banjir sampai berapa hari tidak sekolah,” kata Baim.
Warga Dusun Tumpu Jaya bekerja sebagai petani. Hasil pertanian dan perkebunan mereka berupa jagung, padi dan kelapa. Untuk mengangkut hasil pertanian atau perkebunan warga, maka warga harus menyewa motor menyusuri jembatan rakit. Bahkan, warga harus menyewa ojek untuk keperluan mengangkut hasil bumi itu. “Katanya mau dibikinkan jembatan gantung, tapi sekarang belum ada,” ungkapnya lirih.
Cerita lain diungkap warga Ombolu, Sugiatun. Saat itu, Sugiatun hendak pulang ke Ombolu setelah menjenguk anaknya yang telah berumah tangga tinggal di Dusun Tumpu Jaya I. Sugiatun juga mengisahkan bahwa suaminya pernah terjatuh bersama dengan motor yang dikendarai itu saat hendak menaiki jembatan rakit. Kondisi waktu itu hujan, jalan licin, ban motor terpeleset.
Pemotor lainnya mengaku, dalam sehari ia bisa melintasi jembatan rakit itu untuk membeli kebutuhan. “Belanja, kadang beli ikan atau belanja yang lain. Hari ini saya sudah tiga kali lewat di sini (jembatan rakit). Mohon dibikinkan jembatan,” kata ibu rumah tangga warga Dusun Tumpu Jaya.
Okenesia.com ikut menaiki rakit penyeberangan selama 30 menit dari pukul 17.30 Wita hingga 18.00 Wita itu sempat menghitung jumlah kendaraan yang memanfaatkan jembatan rakit. Selama 30 menit, ada 6 motor dan 7 pejalan kaki.
Pemilik rakit menerapkan tarif untuk sekali melintas. Motor Rp5 ribu dan pejalan kaki Rp2 ribu. Kadang, Arif-penjaga rakit itu tidak lagi menerapkan tarif jika yang melintas sudah tiga kali bolak balik. Arif biasanya hanya menerima ucapan terima kasih.
Dalam sehari, Arif bisa mendapatkan pendapatan mencapai Rp200 ribu. Dari pendapatan sehari itu, ia diwajibkan membayar ke kas dengan per harinya Rp35 ribu. Dana itu digunakan untuk kebutuhan perbaikan rakit penyeberangan.
Aktivitas jembatan rakit itu tidak beroperasi saat banjir besar. “Kalau banjir atau musim hujan itu setengah mati. Banjir total tidak bisa kemana-mana, tidak bisa bersekolah sampai tiga hari. Agustus 2022 silam, tiga hari tidak sekolah, hanya gara-gara tidak bisa menyeberang. Kasihan,” kata Arif.
Arif mengaku, sejak dirinya masih bayi, sudah ada jembatan penyeberangan itu. Ia bercerita, Dusun Tumpu Jaya dibuka pada tahun 1986. Kakeknya bernama Alhamrhum Nusi yang saat itu menjabat Kepala Desa Sinorang yang membuka Dusun Tumpu Jaya I dan II untuk pemukiman warga.
Awalnya, untuk menuju Dusun Tumpu Jaya menyeberangi sungai yang berada di bagian bawah dan atas Ombolu, karena sungai masih dangkal. Untuk sekarang, kondisi sungai yang tak lagi dangkal, tidak memungkinkan disusuri dengan berjalan kaki.
Arif yang telah bertugas mengoperasikan rakit penyeberangan sejak tahun 2017 silam ini mengaku, telah ada pengajuan proposal pembangunan jembatan gantung saat bupati sebelumnya. Bahkan, proposal itu sudah diverifikasi. Sayangnya, jembatan gantung hingga saat ini belum terwujud. Para caleg tahun 2019 lalu diakui Arif, telah memotret kondisi tersebut, juga tak kunjung terealisasi.
Rakit yang kini dioperasikannya sudah beberapa kali diganti. Tahun 2020, jembatan rakit sempat hanyut. Lalu, ada bantuan. “Baru lima bulan ini (rakit) diganti. Ada camat dan anggota dewan sudah pernah lewat di sini,” kata Arif.
Cerita motor jatuh saat berada di rakit juga diakui Arif. “Sudah beberapa kali ada motor yang jatuh, kebablasan jatuh ke sungai. Karena pengaruh beban berat. Alhamdulillah, belum ada yang meninggal,” tutur Arif.
Rupanya, jembatan rakit itu ada dua. Satunya lagi terletak di Dusun Kampung Baru juga masih wilayah Desa Sinorang.
Arif mulai bertugas mengoperasikan jembatan rakit itu sedari pagi sejak pukul 5.30 Wita. Jembatan rakit dibuka di pagi hari itu, karena ada anak-anak sekolah.
Setelah melewati jembatan rakit, warga Dusun Tumpu Jaya I dan II harus menyusuri jalan sepanjang sekira 7 KM. “Dari jembatan penyeberangan menuju Dusun Tumpu Jaya sekitar 7 kilometer, tapi posisi struktur jalan menanjak. Jalannya tidak beraspal, hanya labur. Hanya digusur, tapi kondisinya parah,” katanya.
Susahnya akses jalan juga menjadi penyebab harga barang di Dusun Tumpu Jaya I dan II menjadi naik. Jika kebutuhan banyak, maka warga Dusun Tumpu Jaya lebih memilih berbelanja di Desa Ombolu, buntut perbedaan harga itu.
Sejatinya, terdapat jalur darat. Sayangnya, untuk menuju Dusun Tumpu Jaya menggunakan mobil, maka jarak tempuhnya bisa mencapai 50 KM lebih dari arah Kecamatan Toili. (**)