Tutungan, Tradisi 3 Hari Akhir Ramadan Warga Banggai

0

Tiga lampu botol yang terbuat dari bekas minuman energi dipajang di teras rumah. Botol minuman energi itu sengaja disulap menjadi lampu. Bagian penutup botol dilubangi dipajangi plate bekas bungkusan baterai. Dibuat menggulung lalu ditancapkan, di dalam gulungan plate itu ada sumbu. Sumbunya biasanya dari sumbu kompor. Tradisi itu disebut tutungan atau menyalakan lampu minyak.

OLEH: SUTOPO ENTEDING, BANGGAI

Botol-botol itu diisi penuh minyak tanah. Jadilah lampu nyala berjam-jam. Tradisi menyalakan lampu botol itu sudah turun temurun. Tak diketahui sejak kapan tradisi menyalakan lampu botol di tiga hari jelang akhir Ramadan. Oleh warga setempat, lampu botol dinyalakan sebagai simbol menyambut malam lailatul qadar.

Biasanya, jumlah lampu-lampu botol itu dinyalakan berdasarkan jumlah anggota keluarga di rumah tersebut. Jika lampu botol yang dinyalakan berjumlah lima, maka itu menandakan terdapat lima anggota keluarga penghuni rumah itu.

Malam lailatul qadar, malam yang digambarkan Alquran dalam Surah Alqadar itu lebih baik dari seribu bulan disambut dengan tradisi demikian. Saking begitu berartinya menyambut malam lailatul qadar oleh warga setempat, maka tak satu pun rumah yang tidak menyalakan lampu botol.

Umat muslim di Kelurahan Mendono dan desa/kelurahan di Kecamatan Kintom maupun di kecamatan lain di Kabupaten Banggai masih menjalankan tradisi itu. Jika umat muslim di daerah ini terlihat mulai menyalakan lampu botol, itu artinya Ramadan bakal berakhir tiga hari lagi. Sebab, penyalaan lampu botol itu dimulai pada tiga hari berakhirnya bulan Ramadan.

Penyalaan lampu botol itu bukan dimulai dari umat muslim. Praktis, tradisi itu berdasarkan perintah imam atau takmir masjid di daerah ini. Mereka meyakini, malam lailatul qadar akan hadir menyapa umat muslim di tiga malam terakhir, di pengujung Ramadan.

Keyakinan akan hadirnya malam lailatul qadar datang di tiga malam terakhir Ramadan, bukan tanpa alasan. Ya, keyakinan itu bahwa selama sebulan penuh, umat Islam akan diuji dengan amalan kesalihan, seperti menjalankan ibadah puasa, melaksanakan salat lima waktu berikut salat sunnah serta kebajikan lainnya, seperti membayar zakat fitrah, zakat mall serta memperbanyak berbagi terhadap sesama.

Dari sinilah muncul keyakinan bahwa Allah, Sang Maha Pemilik Semesta akan menghadiahi hamba-Nya dengan malam istimewa, yakni malam lailatul qadar.

Setiap imam atau takmir masjid saat mengumumkan instruksi menyalakan lampu botol itu pun tak pernah menghadirkan dalil riwayat Nabi Muhammad akan perintah menyalakan lampu. Praktis, hanya murni tradisi. Itu pun tak diketahui sejak kapan tradisi itu dimulakan.

“Mba o sumbu, pa ipian na miannu kampung aiya mompomoak. Batukimo na anu maima (tidak tahu, sejak kapan warga kampung ini menyalakan lampu. Ikuti saja hal-hal yang baik),” ungkap Bambang, warga Kelurahan Mendono dengan berbahasa daerah Saluan, bahasa asli warga Kabupaten Banggai.

Berdasarkan penelusuran Okenesia.com, tradisi turun temurun di berbagai daerah di Indonesia juga melakukan hal serupa. Bahkan, tradisi ini tak hanya sebatas dilakoni umat Islam di Indonesia, di Malaysia, negara mayoritas muslim juga melakukan hal serupa. Penamaan tradisi itu berbeda di masing-masing daerah.

Di beberapa daerah dilaksanakan bukan hanya sebatas tiga hari akhir Ramadan. Justru dilakukan pada tujuh hari terakhir Ramadan. Ada pula yang menyalakan lampu minyak itu hanya di malam-malam ganjil saja di pengujung Ramadan.

Berdasarkan penelusuran Okenesia.com dari berbagai sumber menyebut bahwa menyalakan lampu botol ini diawali kisah kebiasaan warga Mesir. Warga sengaja menyalakan lampu untuk membuat penerangan bagi umat muslim untuk membayar zakat.

Di zaman dahulu, belum ada fasilitas untuk menerangi jalanan. Dari sini, muncul inisiatif untuk menyalakan lampu yang dipajang di depan rumah masing-masing. Dengan penerangan itu, warga yang hendak membayar zakat menuju masjid di desa itu tak kesulitan menapaki jalanan. (**)

Comments
Loading...
error: Content is protected !!