Oleh: H. Iswan Kurnia Hasan, LC, MA
(Pimpinan Umum Okenesia.com/Direktur Alquran Institute Banggai)
Suatu saat seorang Badui pernah curhat kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salam. “Syariat Islam sudah banyak saya terima, maka beritahukanlah kepadaku sebuah ibadah yang bisa aku lakukan terus-menerus” pinta sang Badui. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, “Biasakanlah lisanmu untuk terus basah dengan zikir kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala” jawab Rasul kepadanya.
Pertanyaan sang Badui juga mungkin mewakili sebagian kita. Saat hadir di salat Jumat, sang Khatib menyampaikan tentang keutamaan sebuah amal. Lalu saat mengikuti kajian, sang Ustad menjelaskan tentang keistimewaan ibadah tertentu. Saat buka hp, muncul di media sosial ajakan untuk melaksanakan amal saleh yang lain. Lalu saat menonton televisi, penceramah di dalamnya menjelaskan keutamaan lainnya dalam agama Islam. Lalu manakah yang terbaik dari semuanya? Manakah yang utama?
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam bukunya “Madaarij As-Saalikin” mencoba memberikan opsi kepada kita. Kata beliau, para ulama berbeda pendapat tentang apa yang paling utama dalam agama Islam. Ada yang mengatakan bahwa ibadah yang utama adalah ibadah yang paling susah dilaksanakan oleh hati manusia. Ibadah yang tidak ada bagian untuk diri kita. Tidak mendatangkan pujian, tidak mendatangkan nafkah, tidak mendatangkan kemuliaan di hadapan makhluk. Ibadah yang hanya semata untuk Allah. Inilah yang paling mulia.
Lalu pendapat kedua. Menurut mereka ibadah yang utama adalah mengosongkan hati dari semua unsur keduniaan. Dengan kata lain zuhud terhadap dunia adalah yang paling Istimewa. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, ““Zuhudlah di dunia, maka Allah akan mencintaimu. Begitu pula, zuhudlah dari apa yang ada di tangan manusia, maka manusia akan mencintaimu.”
Ketiga, mereka yang berpendapat bahwa ibadah yang utama adalah ibadah yang memberikan manfaat yang lebih besar dan lebih luas. Seperti membantu orang fakir dan miskin. Memenuhi kebutuhan hidup mereka. Inilah yang paling Istimewa. Sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salam saat di bulan Ramadhan. Beliau senantiasa memberi kepada yang butuh, sehingga apa yang diberikan seakan angin berhembus yang bisa dirasakan oleh seluruh penduduk Madinah kala itu.
Kemudian yang keempat, adalah pendapat yang dipilih oleh Imam Ibnu Qayyim. Menurut beliau tiga pendapat sebelumnya menyempitkan makna ibadah itu sendiri. Membuat ibadah yang sangat luas ini menjadi terbatas. Menjadi sempit. Padahal ibadah itu tanpa batas. Sehingga ibadah yang terbaik menurutnya, adalah melakukan sesuatu dalam rangka mencari ridha Allah Subhaanahu wa Ta’aala sesuai dengan tuntutan waktu dan kondisinya. Tanpa Batasan tertentu.
Misalnya ibadah yang utama Ketika sudah ada panggilan jihad dan musuh sudah mengepung kita, yaitu berjihad di jalan Allah Subhaanhu wa Ta’aala. Sekalipun harus terpaksa meninggalkan salat malam, atau berpuasa di siang hari. Bahkan harus terpaksa tidak menyempurnakan salat wajib dan menggantinya dengan tata cara salat khauf.
Jadi yang utama adalah mementingkan ridha Allah terlebih dahulu dalam setiap waktu dan kondisi, lalu melaksanakan amal sesuai dengan tuntutan waktu dan kondisinya. Inilah yang menurut Ibnu Qayyim sebagai ibadah tanpa batas. Bila dikorelasikan dengan siangnya Ramadhan, maka ibadah yang utama adalah melaksanakan puasa, dengan memperhatikan semua hal yang mendatangkan ridha Allah Subhaanahu wa Ta’ala saat kita sedang berpuasa.
Bila malamnya Ramadhan, maka ibadah yang utama adalah melaksanakan qiyaamul lail atau salat Tarawih dengan memperhatikan salat yang dapat mendatangkan ridha-Nya bagi yang melaksanakannya. Malamnya Ramadhan juga bisa diisi dengan ibadah utama lainnya yaitu membaca Al-Quran. Karena secara khusus malaikat Jibril mendatangi Rasul di malam Ramadhan dan mengajari beliau Al-Quran. Sambil memperhatikan bacaan Al-Quran kita, atau hapalan Al-Quran kita, atau kajian Al-Quran kita yang akan mendatangkan ridha Allah Subhaanu wa Ta’aala. Tentu tanpa mengesampingkan ibadah fardhu, yang tetap harus dilaksanakan saat siang dan malam. (***)