Distribusi Anggaran DBH Patut Diperdakan

Upaya Menjawab 'Ketimpangan' di Wilayah Penghasil SDA

0

BANGGAI, OKENESIA.COM- Gelombang protes warga di Kecamatan Batui Selatan, Kabupaten Banggai menuntut perusahaan investasi di wilayah mereka memberi perhatian serius, terus berlanjut.

Kekecawaan warga, karena fasilitas infrastruktur dan komitmen lainnya tidak terwujud. Infrastruktur jalan misalnya, tidak diberi perhatian serius. Padahal, tiga kecamatan di wilayah Selatan, Kabupaten Banggai, yakni Kecamatan Batui, Batui Selatan serta Kecamatan Toili Barat menjadi penghasil sumber daya alam (SDA) khususnya migas yang berdampak terhadap peningkatan pendapatan daerah, yaitu Dana Bagi Hasil (DBH) migas yang menjadi penguat dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Banggai.

Tahun anggaran 2023 ini misalnya, Kabupaten Banggai menerima DBH migas sebesar Rp287 miliar, sementara DBH mineral bukan logam dan batuan (Minerba) mencapai Rp 99 miliar lebih.

Dari anggaran Rp287 miliar, sejatinya sudah dapat mengatasi kerusakan infrastruktur di tiga kecamatan yang menjadi daerah penghasil.

DBH yang sifatnya non mandatory, maka pemerintah daerah bisa ‘seenaknya’ mendistribusikan anggaran dan tidak memprioritaskan kecamatan penghasil sumber daya alam.

Untuk mengatasi masalah tersebut, Ketua Fraksi PKB, Hanura dan Perindo (PHP), DPRD Banggai, H. Syafrudin Husain berpendapat bahwa pendistribusian DBH sejatinya diatur dalam sebuah payung hukum, bernama peraturan daerah (Perda). “Supaya ini tertata bagus, maka harus ada payung hukumnya,” ujar Syafrudin Husain kepada pewarta di Kantin Aspirasi, DPRD Banggai, Selasa (4/9/2023).

Perlu diatur dalam regulasi perda kata H. Udin-sapaan karib Syafrudin Husain, karena tidak ada ketentuan di atasnya seperti undang-undang atau peraturan pemerintah yang mengatur tentang pendistribusian DBH di daerah. “DBH kan tidak ada ketentuan yang mengatur. Yang diatur itu hanya berapa persen untuk daerah penghasil,” ungkapnya.

Ketua DPC PKB Banggai ini menyebutkan bahwa kewenangan DBH yang menjadi bagian dari penguatan APBD itu terserah pemerintah daerah. “Anggaran ini ada yang mandatory dan non mandatory. Mandatory, itu ada juknis dan peraturan pemerintah, arah pembiayaannya jelas, beda dengan DBH,” katanya.

Karena DBH sifatnya non mandatory, maka kewenangan penggunaan anggaran bergantung political wil pemerintah daerah. “Bisa dibuat itu perda penggunaan DBH. Ada rambu-rambu yang bisa menentukan penggunaan anggaran,” urainya.

Semakin banyak usaha tambang kata dia, tentu semakin banyak pendapatan daerah. Harusnya berdampak terhadap dua, yakni aparatur dan rakyat. Secara merata dan adil.

Justru faktanya, porsi pembangunannya kecil ditambah lagi tidak merata. “Kondisi infrastruktur yang rusak itu bagian dari dampaknya. Nah, di perda itu bisa mengatur persentase distribusi anggaran DBH. Misalnya, berapa persen untuk daerah penghasil migas. Supaya jelas pendistribusian anggaran yang berasal dari DBH. Kalau tidak, ribut terus,” katanya.

H. Udin berjanji, ide payung hukum untuk mengatur distribusi anggaran DBH akan disampaikan dalam pemandangan umum sebagai bentuk penyaluran resmi aspirasi kepada pemerintah daerah.

“Dengan begitu, perda distribusi DBH itu akan menjadi acuan untuk memberikan porsi persentase distribusi anggaran yang berasal dari DBH sumber daya alam,” tutur Syafrudin Husain.

Dengan kejelasan pendistribusian ke daerah penghasil, maka soal infrastruktur, semisal jalan, sudah dapat dipastikan akan terjawab dengan sendirinya.

Ia juga menjelaskan bahwa perusahaan tidak bisa didesak untuk menjawab tuntutan warga dalam bentuk program corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Sebab, perusahaan telah menunaikan kewajibannya.

Desakan seperti perbaikan infrastruktur menjadi kewenangan pemerintah daerah dengan mengalokasikan anggaran bersumber dari DBH ke daerah penghasil sumber daya alam. (top)

 

Comments
Loading...
error: Content is protected !!